Blog ini adalah archive. Untuk situs kami yang aktif, silahkan kunjungi mahkamahnews.org | Follow kami di Instagram & Twitter : @mahkamahnews

Baca juga archive produk-produk kami di  

Minggu, 25 November 2012


PERSMA DIELUKAN, DIBUNGKAM DAN DIABAIKAN




Pers Mahasiswa (Persma) telah melewati banyak masa. Dari waktu ke waktu Persma mencatat pahit manis sejarah kehidupan Indonesia. Sebagai penyuara kebenaran, Persma mengalami jatuh bangun seiring perkembangan Indonesia menjadi negeri yang besar. Persma dielukan, Persma dibungkam, hingga Persma diabaikan.
            Persma muncul sejak terjadinya pergerakan yang digalang Budi Utomo. Pergerakan pada masa penjajahan tersebut mampu menyulut semangat pemuda, terutama mahasiswa sebagai pihak netral untuk ikut mengkritisi kolonialisme. Hal ini dibuktikan dengan terbitnya Jong Java oleh mahasiswa dan pelajar Indonesia. Perjuangan Persma membuat media penyampaian pikiran-pikiran kemerdekaan belum selesai, saat akhirnya kolonialisme angkat kaki dari Indonesia sehingga bangsa ini merdeka, sebaliknya, Persma terus mengembangkan sayap pemikirannya untuk ikut menorehkan tinta pada sejarah bangsa ini.
            Kolonialisme gugur dan digantikan Orde Lama. Persma terus menunjukan idealismenya dalam mengkritisi pemerintahan Soekarno yang ternyata tidak juga membawa Indonesia menjadi lebih baik. Sayangnya, Persma pada masa Demokrasi Terpimpin dan Demokrasi Liberal saat itu dipengaruhi partai politik sehingga kebijakan Persma kala itu tidak lepas dari pengaruh partai politik.
            Orde Lama tumbang digantikan Orde Baru. Persma masih tetap berada di pihak netral yang terus kritis menanggapi masalah yang ada di negeri ini. Masa Orde Baru dapat dikatakan sebagai masa kejatuhan Persma dan pers lainnya. Rezim Soeharto yang otoriter membawa dampak buruk bagi kehidupan pers di tiap universitas. Persma yang kala itu tetap aktif mengkritisi pemerintah yang sakit, dipandang sebagai ancaman bagi rezim Orde Baru. Sehingga dengan semena-mena pemerintah mengeluarkan kebijakan NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan).
Melalui kebijakan ini mahasiswa hanya dituntut untuk beraktivitas hanya di dalam ruang kuliah. Mahasiswa hanya berkewajiban untuk belajar, bukan ikut menelaah masalah politik, karena masalah politik dianggap hanya urusan negara atau pemerintah. Kebijakan ini berhasil menutup secara paksa Persma di berbagai universitas seperti; Gelora Mahasiswa (UGM) dan Salemba (UI). Namun pergerakan Persma terus dilakukan di bawah tanah hingga akhirnya lahirlah reformasi pada tahun 1998.
            Reformasi menjanjikan banyak hal kepada tiap masyarakat Indonesia untuk ikut berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan negara. Kebebasan berpendapat tidak lagi dibatasi oleh kebijakan-kebijakan absurd pemerintah. Persma turut merasakan sepoi angin perjuangan yang menjanjikan. Reformasi yang berlangsung hingga saat ini sudah sepatutnya digunakan sebaik-baiknya oleh semua Persma di Indonesia sebagai dasar perjuangan mengkritisi dan menyalurkan pikiran-pikiran yang netral dan tidak berpihak. Persma tidak lagi harus berjuang di bawah tanah, melakukan kegiatan secara diam-diam karena takut ditangkap, hanya karena menyampaikan pikirannya yang objektif terhadap isu apapun yang ada di Indonesia.
            Ironis ketika kebebasan bersuara sudah digenggam, Persma justru diabaikan. Diabaikan oleh pemerintah, dan lebih parah lagi, diabaikan oleh mahasiswa. Kebebasan pers di era reformasi ditandai dengan disahkannya Undang-Undang No. 40 tahun 1999 tentang Pers (UU Pers). Undang-undang yang menjamin kebebasan berpendapat bagi setiap media ini merupakan tanda dimulainya demokrasi di Indonesia. Meskipun demikian, dari dua puluh satu pasal yang terkandung dalam UU Pers, peraturan khusus tentang Persma tidaklah menjadi salah satu hal yang diatur dalam undang-undang ini.
Pembuat undang-undang saat itu mungkin lupa bahwa di Indonesia terdapat satu badan yang memegang peran penting dalam pergerakan bangsa sejak sebelum merdeka hingga reformasi. Padahal tanpa media yang netral, tanpa tulisan-tulisan mahasiswa yang menyerukan kepada masyarakat tentang inti perjuangan, kita tidak akan sampai pada era reformasi seperti sekarang ini.
Sebut saja pergerakan mahasiswa tahun 1974 atau lebih dikenal dengan tragedi Malari, dimana mahasiswa menolak masuknya investasi asing ke Indonesia. Demonstrasi yang menyebabkan beberapa mahasiswa gugur itu merupakan latar belakang pemerintah di bawah rezim Soeharto membuat kebijakan NKK/BKK yang memaksa seluruh mahasiswa, termasuk Persma, bungkam terhadap isu-isu negara pada saat itu.
Namun dengan keberanian dan tekad Persma, perjuangan bawah tanah untuk mengkritisi dan menyalurkan informasi tetap dilakukan, tidak peduli seberapa sering majalah kampus diberedel oleh pemerintah. Jika Persma tidak mempunyai keberanian untuk tetap berjuang, mungkin pergerakan mahasiswa tahun 1998, yang berhasil menumbangkan otoritas Orde Baru tidak akan pernah terjadi. Mungkin mahasiswa akan tetap menjadi pelajar seperti keinginan pemerintah Orde Baru. Belajar di ruang kelas dan berprestasi mengharumkan nama bangsa tanpa tahu apa yang terjadi dengan bangsa itu sendiri.
Perjuangan Persma terdahulu sudah seharusnya meninggalkan bekas pada perjuangan Persma masa reformasi. Namun kenyataannya, setelah dibungkam pemerintah pada masa Orde Baru, Persma sepertinya sulit bangkit kembali menjalankan perannya membakar semangat perjuangan seperti dulu. Pers Mahasiswa di era reformasi bukan hanya diabaikan pemerintah, tetapi juga diabaikan mahasiswa. Seperti masih terkekang Orde Baru, mahasiswa terbiasa untuk tidak kritis terhadap isu sekitar.
 Dari warisan Orde Baru jugalah sebagian Persma di Indonesia terkesan masih takut mengkritik pemerintah maupun kebijakan kampus itu sendiri. Tidak dapat dipungkiri bahwa Persma menggantungkan seluruh dana kegiatannya pada kampus. Namun bukan berarti Persma, yang berfungsi sebagai media kontrol sosial di dalam kampus, harus membatasi langkahnya dalam menanggapi permasalahan kampus. Hal inilah yang terjadi di beberapa Persma di Indonesia. Tujuan Persma yang seharusnya berfungsi sebagai media perjuangan, digantikan dengan hiburan yang, sebenarnya, dapat ditemukan di media-media lain. Karena itulah, beberapa Persma di Indonesia mulai kehilangan pendar idelismenya.
Walaupun demikian, harapan terhadap Persma tetap ada. Masih banyak Persma yang mempertahankan idelismenya dengan tetap mengkritisi isu-isu di dalam dan luar kampus. Masih banyak Persma yang tidak terlena oleh reformasi dan masih terus berjuang menyuarakan kebenaran. Reformasi bukan seharusnya menjadikan Pers Mahasiswa melemah lantaran pergerakan mahasiswa telah usai. Namun reformasi dengan segala jaminan kebebasan berpendapat, seharusnya dipandang sebagai pintu yang terbuka lebar bagi Persma di Indonesia untuk terus menyuarakan perjuangan.
Tidak ada yang sempurna, begitu pula era reformasi yang didapat dengan perjuangan berdarah ini. Maka tidak ada alasan bagi Persma untuk berhenti menyuarakan perubahan menuju arah yang lebih baik demi bangsa Indonesia. Begitupun seharusnya tidak ada alasan bagi Persma untuk kembali dibungkam dan diabaikan, karena Persma akan selalu ada di tiap-tiap pergerakan mahasiswa untuk ikut menorehkan tinta di liku sejarah bangsa ini, mau tidak mau.

  Bunga Dita Rahma Cesaria
  Awak Magang MAHKAMAH 
                         

GUDANG ILMU RUSAK, SALAH SIAPA?




          Perpustakaan adalah tempat yang sangat penting dalam kehidupan akademis. Hal tersebut karena aktivitas akademia yang tidak lepas dari pencarian referensi dalam proses mengembangkan ilmu. Baik mahasiswa yang membutuhkan buku panduan dalam belajar maupun para dosen yang membutuhkan sumber bacaan untuk lebih menguasai ilmu yang akan mereka sampaikan ke para mahasiswanya. Perpustakaan adalah gudang ilmu bagi mahasiswa, tempat semua buku berisi ilmu bermuara. Latar belakang itulah yang membuat kami berkunjung ke perpustakaan  Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM) untuk berbincang langsung dengan Ikhwan Arief, S.IP selaku ketua perpustakaan.
            Demikian juga yang terjadi di FH UGM. Bangunan megah berlantai tiga yang didirikan pada tahun 2011 merupakan saksi sebuah perjalanan panjang untuk memenuhi kebutuhan akademia yang haus akan ilmu dan buku bacaan. Pada awalnya bermula dari adanya perpustakaan kecil di gedung III yang kemudian pindah ke gedung IV. Kondisi perpustakaan kala itu masih sangat minim karena di dalam satu ruangan terdapat berbagai perpustakaan, seperti perpustakaan hukum umum, perpustakaan hukum notariat, dan perpustakaan magister hukum. Barulah bergabung menjadi satu perpustakaan pada tahun 2011.
            Berbicara tentang fasilitas perpustakaan FH UGMsebenarnya sudah cukup layak dan representatif untuk menujang kegiatan belajar mengajar. Kelebihan yang dimiliki perpustakaan FH UGMadalah jam operasionalnya dari jam 08.00 – 21.00 WIB setiap hari kerja. Selain dapat menampung seratus lima puluh mahasiswa. Perpustakaan juga dilengkapi berbagai fasilitas. Fasilitas yang ada, antara lain : ruang baca, ruang akses internet dengan komputer yg disediakan ­,meskipun hanya dua unit , ruang akses koleksi penelitian digital, ruang diskusi, ruang belajar pribadi (student carel) , ruang pertemuan (hall) , loker, mushola, toilet, beserta tempat wudhu.
            Ruang akses koleksi penelitian digital itu berisi tentang skripsi dan tesis yang berupa bentuk digital yang dikumpulkan oleh mahasiswa saat prosedur bebas pustaka. Ruang akses koleksi penelitian digital ini memang dirancang agar mahasiswa tetap bisa mengakses skripsi dari mahasiswa semua angkatan. Akibat keterbatasan ruang dan tempat skripsi yang disimpan dalam format buku hanya skripsi yang dibuat pada tiga tahun terakhir.
            Ruang belajar pribadi (student carel)  yang diperuntukan untuk mahasiswa S3. Hal tersebut disebabkan karena mahasiswa S3 mempunyai gaya belajar yang berbeda dengan mahasiswa tingkat lain sehingga memerlukan ruang yang khusus. Dalam student carel tersebut mahasiswa S3 dapat menyimpan koleksi buku pribadi.
            “Insyaallah sudah layak asal termanfaatkan dengan baik. Semoga bisa digunakan semaksimal mungkin,” tutur Ikhwan.
            Kemudian perbincangan berlanjut ke permasalahan buku. Buku yang tersedia di FH UGM sekarang berkisar 26.000 eksemplar. Memang jumlah tersebut masih belum lengkap akan tetapi pengelola perpustakaan selalu berusaha untuk melengkapi buku-buku tersebut. Cara perpustakaan melengkapi koleksi, dengan:
1.      Pembelian langsung ke toko buku atau percetakan.
2.      Pembelian online.
3.      Pembelian melalui penawaran yang masuk ke Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.
4.      Pameran buku.
5.      Menyediakan layanan untuk mencarikan buku ke perpustakaan lain apabila buku yang dibutuhan mahasiswa tidak tersedia di perpustakaan FH UGM.
            Melihat jumlah koleksi buku perpustakaan FH UGM yang cukup banyak,maka pengelola menggunakan sistem perlindungan buku secara digital. Cara pertama adalah menggunakan Closed Circuit Television (CCTV) untuk mengawasi para pengunjung perpustakaan untuk memastikan mereka menggunakan perpustakaan secara baik dan benar. Namun cara ini belum terbukti efektif karena belum sekalipun petugas menangkap pengunjung perpustakaan yang nakal padahal banyak skripsi yang terlihat jelas bekas disobek halamannya dan buku yang hilang entah kemana.
            Cara kedua untuk menjaga buku tersebut tidak hilang adalah menggunakan barcode dan chip sistem. Barkode berfungsi sebagai nomor buku, jadi meskipun buku tersebut sama judulnya tetap mempunyai nomor barcode yang berbeda. Hal ini sangat membantu petugas memantau buku. Kemudian tentang chip, benda kecil yang ditempel atau diselipkan pada buku ini memiliki sensor yang bisa di nonaktifkan dan diaktifkan. Apabila buku sedang tidak dipinjam maka buku tersebut akan diaktifkan chipnya dan ketika buku tersebut dipinjam chip dimatikan oleh petugas. Akibatnya jika ada yang meminjam buku tanpa lapor dengan petugas maka chip tadi akan berbunyi.
            Lalu sudahkah perlindungan terhadap buku berjalan maksimal? Hal ini menjadi pertanyaan besar karena jumlah buku yang ada diperpustakaan tetap berkurang dan hanya bertambah jika petugas membeli buku baru Faktanya perpustakaan FH UGM masih kehilangan buku-bukunya. Selain itu wajah skripsi yang berada di lantai tiga juga semakin mengerikan. Banyak dari skripsi atau desertasi yang halamannya hilang entah kemana. Penampilan skripsi tersebut juga makin tidak sedap dipandang. Rasanya keadaan tersebut cukup untuk menggambarkan kerusakan perpustakaan yang baru gedungnya tahun 2011 ini.
            Ketika kami konfirmasikan pada  kepala  perpustakaan FH UGM, Pak Ikhwan hanya tersenyum sambil berkata, “Presentase kehilangan buku sudah mulai menurun sejak ada chip. Untung kami sudah punya soft filenya, jadi perbuatan tersebut masih bisa dimaafkan. Apabila suatu saat kami menemukan tidakan tersebut pasti akan kami laporkan ke satpam kampus agar ditindak tegas.”
             Meskipun perpustakaan FH UGM sudah memiliki pengamanan yang cukup memadahi akan tetapi tetap saja ada buku yang hilang dan rusak. Lalu siapa yang disalahkan karena kejadian ini?    Sejatinya   Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada ini didirikan dengan uang rakyat dan uang mahasiswa juga. Apa jadinya jika perpustakaan ini hancur karena para penggunanya tidak bijak dalam memanfaatkanya. Pada akhirnya biaya yang dikeluarkan untuk perawatan perpustakaan juga mahal dan membebani mahasiswa itu sendiri.
            Oleh karena itu meski tingkat kerusakan chip masih sedikit kita jangan melakukan perusakan chip secara sengaja. Sebab chip berserta sensor sangat sensitif. Sebaiknya jangan menumpuk buku terlalu banyak agar chip tidak tertekan atau rusak. Selain itu alangkah lebih baik jika pengguna    perpustakaan FH UGM sadar bahwa menyobek dan mencorat-coret skripsi adalah berpuatan yang hina dilakukan kaum akademia yang katanya cendikiawan muda.
            Sebagai penutup ada sebuah harapan yang mewakili jeritan perpustakaan FH UGM yang disampaikan oleh Pak Ikhwan, “Harapan semoga bisa dimaksimalkan dan dimanfaatkan pengunaan fasilitasnya.  Pengguna boleh memberi sumbang saran kritik untuk perpustakaan. Kami mengajak para penunjung untuk bersama-sama meningkatkan dari bagian layanan.” Semoga saja perpustakaan FH UGM tidak hancur karena kedzaliman penggunanya.

Sekar Banjaran Aji dan Sativa Koeswojo
 Awak Magang Mahkamah

BPMIGAS INKONSTITUSIONAL


Pembubaran Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BPMIGAS) dua pekan yang lalu mengejutkan publik. BPMIGAS merupakan lembaga yang dibentuk Pemerintah Republik Indonesia  sebagai pembina dan pengawas Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) dalam menjalankan kegiatan eksplorasi, eksploitasi dan pemasaran minyak dan gas di Indonesia.
Lembaga ini didirikan sebagai manifestasi Undang-Undang No 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas). Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 42 Tahun 2002 tentang BPMIGAS, masalah pengawasan dan pembinaan kegiatan Kontrak Kerja Sama (KKS) yang sebelumnya dikerjakan oleh Pertamina selanjutnya ditangani langsung oleh BPMIGAS sebagai wakil pemerintah.
Badan yang dibentuk pada tanggal 16 Juli 2002 ini kemudian ditamatkan riwayatnya oleh Putusan Mahkamah Konstitusi No. 36/PUU-X/2012 yang dibacakan pada tanggal 13 November 2012. MK memutus Pasal 1 angka 23, Pasal 4 ayat (3), Pasal 41 ayat (2), Pasal 44, Pasal 45, Pasal 48 ayat (1), Pasal 59 huruf a, Pasal 61, dan Pasal 63 UU Migas bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Pembubaran BPMIGAS ini menuai pro kontra di tengah khalayak umum. Publik bertanya-tanya alasan apa yang membuat BPMIGAS ditumbangkan. Apa ada kepentingan terselubung di balik skenario ini? Atau memang sudah waktunya lembaga yang dianggap terlalu liberal dan pro kepentingan asing itu dibabat karena rawan koruptor?
Putusan MK yang membubarkan BPMIGAS dilandasi  judicial review UU Migas yang diajukan oleh sejumlah organisasi dan perorangan. Mereka terdiri atas tokoh-tokoh nasional dan aktivis. Antara lain PP Muhammadiyah, Komaruddin Hidayat, Marwan Batubara, Adhie Massardi, dan M Hatta Taliwang. Para penggugat ini juga menghadirkan sejumlah saksi ahli, di antaranya mantan Menko Perekonomian Dr Rizal Ramli, Kwik Kian Gie, pakar migas Dr Kurtubi, pakar hukum tata negara Dr Margarito Kamis, dan lainnya.
Mereka memohon MK untuk membatalkan ketentuan tentang KKS atau kontrak lainnya terkait dengan Migas. Alasannya karena negara yang berkontrak. Menurut pemohon seharusnya bukan negara yang berkontrak, tetapi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) meskipun BUMN yang berkontrak ini tidak harus tunggal. Kedua menyatakan batal ketentuan yang mengatur keberadaan pelaku yang melakukan kegiatan Migas di hulu dan hilir, yaitu BPMIGAS, Badan Usaha dan Badan Usaha Tetap. Pemohon menghendaki agar disektor Migas, BUMN yang mendapat kuasa dari negara sebagaimana diatur dalam UU Migas lama yaitu Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 5 ayat (1) UU No. 44/Prp/1960. Maksudnya adalah Pertamina sebagaimana diatur dalam UU No. 8 Tahun 1971.
Pemohon menghendaki agar BUMN diberi prioritas dalam pengelolaan sektor Migas mengingat para kontraktor saat ini lebih banyak berasal dari luar negeri. Permohonan terakhir dari pemohon adalah menyatakan batal pasal yang mengatur kewajiban pemerintah untuk memberitahu KKS yang telah ditandatangani kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Para pemohon menginginkan agar KKS harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari DPR, bukan sekedar memberitahu setelah ditandatangani. Atas permohonan ini MK mengabulkan permohonan kedua yang kemudian membubarkan BPMIGAS.
BPMIGAS seringkali dicap sebagai agen atau antek asing. Dalam praktek, BPMIGAS lebih banyak menguntungkan kontraktor asing. BPMIGAS menjadi kepanjangan tangan kontraktor asing, khususnya dalam soal persetujuan pembayaran cost recovery yang jumlahnya amat besar. Hal inilah yang menjadi alasan para penggugat melakukan judicial review terhadap UU Migas, karena kehadiran BPMIGAS tidak memberi manfaat bagi negara dan rakyat Indonesia.
BPMIGAS memiliki wewenang antara lain membina kerja sama dalam rangka terwujudnya integrasi dan sinkronisasi kegiatan operasional KKKS. Merumuskan kebijakan atas anggaran dan program kerja KKKS dan mengawasi kegiatan utama operasional kontraktor KKS.  Membina seluruh aset KKKS yang menjadi milik negara. Melakukan koordinasi dengan pihak dan/atau instansi terkait yang diperlukan dalam pelaksanaan Kegiatan Usaha Hulu. Wewenang inilah yang menimbulkan permasalahan.
Pakar Migas Indonesia, Dr.Kurtubi mengatakan bahwa kehadiran BPMIGAS telah menggerogoti kedaulatan negara. BPMIGAS sebenarnya tidak punya aset karena sebenarnya asset BPMIGAS adalah aset pemerintah. BPMIGAS mewakili pemerintah dalam menandatangani kontrak migas dengan perusahaan asing dalam pola business to government. Dimana kedudukan pemerintah dan kontraktor asing jadi setara. Hal ini bisa membahayakan negara bila terjadi sengketa hukum di kemudian hari.
Ketua Center for Petroleum and Energy Economics Studies (CPEES) itu berpendapat bahwa UU Migas mengarah untuk melegalkan penguasaan kekayaan migas nasional oleh perusahaan asing dan swasta. Hal ini tampak pada Pasal 12 ayat (3), yang menyatakan Kuasa Pertambangan (KP) oleh menteri diserahkan kepada perusahaan asing dan swasta. Sementara itu, implementasi kepemilikan atas Sumber Daya Alam (SDA) migas sengaja dikaburkan dengan tidak adanya pihak yang membukukannya karena BPMIGAS tidak punya neraca.  Kehadiran BP Migas membuat tata kelola migas Indonesia menjadi buruk . Hal ini ditandai dengan produksi anjlok, cost recovery melonjak, karyawan BPMIGAS melonjak sepuluh kali lipat, merugikan negara.
Pasca putusan Mahkamah Konstitusi, presiden sendiri telah mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 95 Tahun 2012 untuk mencegah kevakuman terhadap usaha hulu migas.  Hal ini dimaksudkan untuk mencegah kevakuman aturan sekaligus memberikan kepastian bagi usaha hulu minyak dan gas bumi.
Dalam Perpres ini eks BPMIGAS yang masih dalam masa transisi, sesuai dengan putusan MK, kedudukannya berada di bawah Menteri Energi dan Sumber Daya Manusia (ESDM). BPMIGAS yang sekarang berada di bawah Kementrian ESDM, berubah nama menjadi Satuan Kerja Sementara Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKSPMIGAS). Hal ini dipertegas dengan Keputusan Menteri (KepMen) ESDM No. 3135 Tahun 2012 dan KepMen No. 3136 Tahun 2012 tentang Pengalihan Tugas, Fungsi, dan Organisasi pelaksanaan kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi.  Pengalihan BPMIGAS ke SKSPMIGAS menimbulkan pertanyaan baru. Apakah pembubaran BPMIGAS menjadi SKSPMIGAS hanya sekadar ganti kostum semata? Semoga saja tidak.

Maria Yohana Kristyadewi

Jumat, 28 September 2012


DPR, Polri Versus KPK

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang saat ini diketuai oleh Abraham Samad dibentuk tahun 2003 dengan tujuan mengatasi, menanggulangi, dan memberantas korupsi di Indonesia.  Lembaga legislatif atau Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) diketuai oleh Marzuki Alie dibentuk dengan tujuan menyalurkan aspirasi rakyat, penghubung antara rakyat dengan pemerintah. Sementara, Kepolisian Republik Indonesia (Polri), dibentuk dengan tujuan dapat melindungi, mengayomi, melayani dan menegakkan hukum di masyarakat.
Ketiga lembaga tersebut merupakan lembaga vital yang memiliki tujuan mulia bagi rakyat Indonesia. Namun, selama ini terjadi justru DPR,Polri versus KPK. Hal ini dibuktikan pada kasus simulator Surat Izin Mengemudi (SIM). KPK dan Polri malah berebut tersangka dan barang bukti. Polri bahkan mempersulit perizinan perpanjangan masa kerja penyidik KPK.
 DPR sendiri pun seperti menyalahkan KPK karena dianggap KPK tidak menghormati kerja dan keputusan Polri. Kemudian permintaan pembangunan gedung KPK yang di halang-halangi oleh DPR. Sangatlah disayangkan, mengingat DPR sendiri pun telah banyak merugikan negara dengan pembangunan gedung DPR disana-sini namun tidak memiliki manfaat yang jelas atau tidak berdaya guna tetapi untuk membangun gedung KPK untuk memaksimalkan kinerja pemberantasan korupsi mereka malah menolak dengan alasan tidak mau KPK semakin “perkasa”.
Sempat terjadi protes dari pihak Polri dan DPR ketika terjadi perbedaan jenjang anggaran kerja untuk Polri, DPR dan KPK yang menempatkan KPK sebagai pemegang hak tertinggi atas anggaran namun dituduh tidak maksimal kinerja dan kebijakan untuk mengelola anggaran tersebut.  Seolah-olah selain harus bekerja melawan korupsi, KPK sendiri harus melawan ego Polri dan DPR yang herannya seperti tidak senang dengan kinerja KPK yang saat ini cepat dan tepat.
Pertikaian ini sebenarnya juga bersumber dari Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 yang mengatakan bahwa kasus korupsi dapat ditangani oleh Polri, Kejaksaan dan KPK. Meskipun memberi kewenangan kuat kepada KPK untuk menyidik kasus korupsi tetapi juga masih memberi ruang kepada kejaksaan dan Polri untuk menyidik dan mengusut kasus korupsi. Maka tidaklah heran apabila terjadi perebutan wewenang semacam ini di kalangan KPK dan Polri.  Padahal di hampir di setiap negara, lembaga antikorupsi merupakan lembaga satu-satunya yang berwenang menangani kasus korupsi sementara Polri dan kejaksaan menangani kasus di luar korupsi seperti penggelapan, perampokan, terorisme dan sebagainya. Maka tidaklah heran terjadi perebutan wewenang seperti ini di kalangan Polri dan KPK.
KPK, sebagai lembaga antikorupsi di Indonesia, belum dapat diberi tanggung jawab penuh untuk menyelesaikan kasus korupsi tanpa campur tangan pihak lain karena pemilihan anggota dan pimpinan KPK yang masih ditangani oleh DPR. DPR berasal dari partai politik bukan dari independen, jadi masih dapat ditunggangi kepentingan-kepentingan politik. Bukan hanya sekali pemerintah dan DPR mengundang  Independent Commission Against Corruption (ICAC). Lembaga antikorupsi Hongkong ini telah berhasil mengatasi masalah korupsi di negeri mereka. DPR mengundang mereka untuk memberikan solusi-solusi supaya lembaga antikorupsi di Indonesia menjadi lembaga yang kuat dan dapat memberantas korupsi yang menjadi masalah utama saat ini.
Solusinya antara lain menjadikan KPK sebagai konstitusi negara dengan komite independen sebagai pengawasnya. Namun pemerintah dan DPR tidak melaksanakan jurus itu dan justru mempersulit pelaksanaannya untuk menyelamatkan para koruptor.  Selain itu, seperti ada ketakutan KPK akan menjadi lembaga yang otoriter dan semena-mena ke depannya karena seolah-olah KPK adalah yang paling banyak bekerja untuk negeri ini.
 Oleh karena itu koruptor senang bertumbuh kembang di Indonesia, nyaman untuk semakin memperkaya diri sendiri. Sebelum masa kebangkitan nasional, pemuda Sumatera, pemuda Bali dan organisasi masih berjuang sendiri-sendiri, malah ada organisasi yang justru menghancurkan rekan sebangsa dan setanah airnya, yang menang siapa? Penjajah. Belanda, Jepang dan lain-lain.
Demikian juga sekarang ini, KPK lawan DPR, KPK lawan Polri, siapa yang menang? Koruptor! Dilihat dari dari tujuan KPK, DPR dan Polri sebenarnya memungkinkan kerjasama antara KPK, DPR dan Polri asalkan ada kejelasan fungsi masing-masing lembaga dan komitmen yang benar dan jujur dalam mengatasi permasalahan-permasalahan di negeri ini. DPR memilih anggota-anggota yang tepat, dengan seleksi yang ketat untuk memilih anggota KPK, mendukung sarana dan prasarana yang diperlukan untuk memberantas korupsi yang merupakan keluhan dari hampir seluruh lapisan rakyat.
 Lalu Polri bekerja sama dengan KPK (bukan sama-sama bekerja atau malah berebut pekerjaan) untuk menyidik dan menangani para koruptor untuk mewujudkan tujuan Polri juga yaitu melindungi, mengayomi dan menegakkan hukum di masyarakat. Masing-masing lembaga harus menyadari korupsi bukan sebagai ajang unjuk wibawa dan unjuk keeksisan masing-masing lembaga, siapa yang paling hebat dalam mengatasi melainkan masalah serius yang harus diberantas habis bersama-sama.
                 Fransisca F. R. C
Awak Magang Mahkamah


KPK dan Parodi Penegakan Korupsi

Belum lama terjadi gesekan antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan Komisi III DPR mengenai anggaran pembangunan gedung KPK baru, kini KPK kembali dihadapkan pada konflik dengan Polri . Konflik ini terkait korupsi pengadaan alat simulator Surat Ijin Mengemudi (SIM) kendaraan beroda dua dan empat oleh jajaran anggota Polri hingga penarikan dua puluh penyidik Polri di KPK.
            Carut-marutnya penegakan korupsi di Indonesia semakin menambah tanda tanya publik akan tatanan hukum yang jelas dan berbasis pada peraturan perundang-undangan. KPK sebagai lembaga negara non departemen, saat ini seakan menjadi satu-satunya lembaga yang menjadi tumpuan publik akan terciptanya Indonesia yang bersih dari korupsi. Namun faktanya, langkah KPK ini seakan tidak mendapat dukungan penuh dari Komisi III DPR dan Polri, dimana kedua lembaga ini memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan KPK.
            Pemberitaan yang mencuat di media massa maupun media online, menunjukkan tidak adanya kesinergian antar lembaga penegak hukum di Indonesia dengan lembaga pemerintahan. Bahkan antar lembaga penegak hukum pun terjadi konflik yang hingga kini belum terselesaikan. Kisah ini seakan menjadi sebuah parodi penegakkan hukum di Indonesia, dimana tidak ada keseriusan antar elemen negara dalam memberantas korupsi dan terkesan main-main.
Semakin meruncing
            Masalah yang saat ini dihadapi KPK dengan Polri sebenarnya bukanlah masalah pertama yang dihadapi oleh KPK. Sebelumnya, KPK harus berhadapan dengan Komisi III DPR terkait dengan pembangunan gedung baru KPK. Permasalahan ini terkesan berbelit-belit sebab sebenarnya Badan Anggaran DPR telah menyetujui pembangunan gedung baru KPK sejak tahun 2008, namun hingga saat ini belum disahkan oleh Komisi III DPR. Dana sudah disiapkan oleh Badan Anggaran DPR, namun hingga kini belum juga mendapat persetujuan oleh Komisi III DPR.
Padahal apabila kita merujuk gedung KPK saat ini, jelas bahwa kapasitasnya tidak lagi mampu menampung jumlah pekerja yang saat ini mencapai tujuh ratus pegawai dan terus bertambah terkait semakin banyaknya kasus yang ditangani oleh KPK. Tidak usah melirik negara maju di belahan bumi ini, lihat saja negara tetangga kita Malaysia yang KPK-nya yaitu MACC (Malaysian Anti-Corruption Commission) bernasib beda dengan KPK kita. Saat ini jumlah pegawai KPK Malaysia berjumlah lima ribu pegawai dan tersebar di sembilan negara bagian, bahkan Malaysia sedang membangun gedung KPK baru dengan dua puluh lantai. Ironis sekali bila kita membandingkan KPK Malaysia dengan KPK Indonesia.
            Tidak berhenti disitu saja, belum selesai dengan Komisi III DPR, kini KPK kembali dihadapkan masalah dengan Polri. Masih teringat akan sengketa dalam mengadili tersangka dalam korupsi pengadaan alat simulator sim kendaraan roda dua dan empat, dimana KPK dan Polri saling sikut untuk menentukan siapa yang berwenang mengadili tersangka yang terlibat. Polri seakan merasa tidak nyaman akan gerak-gerik KPK yang semakin luas, sehingga POLRI sendiri terkesan berusaha agar KPK tidak dapat “mengacak-acak” Polri.
Baru-baru ini bahkan Polri menarik dua puluh penyidiknya yang bekerja sebagai penyidik KPK. Hal ini semakin mengindikasikan bahwa adanya “perang” antara KPK dengan Polri, walaupun Polri sendiri menyatakan bahwa penarikan dua puluh penyidiknya dikarenakan sudah habis masa jabatan. Penarikan  dua puluh penyidik oleh Polri semakin memperuncing permasalahan. Saat ini KPK hanya memiliki tujuh puluh delapan penyidik, apabila dua puluh penyidiknya ditarik oleh Polri, itu berarti hampir satu per empat penyidik KPK berkurang, padahal saat ini justru KPK membutuhkan banyak penyidik terkait semakin banyaknya kasus korupsi yang sedang ditangani oleh KPK.
Harapan rakyat
            Perpecahan dan konflik antara KPK dengan berbagai elemen negara menjadikan penyelesaian korupsi di tanah air semakin tidak karuan. Bagaimana tidak, lembaga negara yang seharusnya memberi rasa aman bagi masyarakat dan menyelesaikan konflik di masyarakat malah saling bertikai. Rakyat disuguhkan dengan parodi pertikaian yang seakan tidak ada habisnya. Dengan konflik yang tidak ada habisnya antara lembaga negara, semakin diragukan apakah negara mampu memberi rasa aman dan  mampu menyelesaikan masalah di tengah masyarakat. Sudah seharusnya ada sinergi antar lembaga negara.
KPK tidak lagi berjalan sendirian dalam memberantas korupsi, namun juga didukung bukan hanya dari masyarakat, tetapi Polri dan DPR juga harus turut serta dalam mendukung kinerja KPK. Contohlah negara tetangga kita Malaysia, dimana MACC (Malaysian Anti-Corruption Commission) telah lebih jauh berkembang dan maju dibandingkan KPK kita. Tidak ada kata terlambat, namun juga para elemen negara jangan saling menghambat proses perbaikan pemberantasan korupsi di tanah air. Jangan sampai pertikaian yang terjadi antar lembaga negara sampai menelantarkan kepentingan masyarakat. Marilah bersatu memberantas korupsi, demi Indonesia tanpa korupsi.

                                                                                           Benedictus Wisnu
                                                                                             Awak Magang Mahkamah

                   HUKUM MATI KARENA ARSENIK

            Kematian Munir tanggal 7 September 2005 hingga saat ini masih menyisakan pertanyaan bagi bangsa Indonesia. Munir, seorang aktivis HAM yang sangat vokal menyampaikan kritik dan selalu berada di garda paling depan penegakan HAM di Indonesia. Jabatannya sebagai ketua KontraS (Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) membuat Munir merasa memiki tanggung jawab penuh dalam penegakan HAM di negeri tercinta ini. Tragisnya, Munir sang pejuang HAM tersebut mati secara tidak wajar dalam penerbangan ke Belanda untuk melanjutkan kuliah S2-nya. Kematian Munir tersebut menurut dokter disebabkan oleh arsenik.
Arsenik tidak datang begitu saja
            Pollycarpus sebagai terdakwa pembunuh Munir sudah dijatuhi hukuman 14 tahun penjara tapi kasus ini tidak berakhir begitu saja. Masih ada banyak kejanggalan dalam kasus ini dan yang utama siapa dalang dari kasus ini. Mana mungkin Pollycarpus yang mengaku sebagai asisten pilot membunuh Munir seorang pejuang HAM tanpa alasan yang pasti. Kemudian ketika dugaan dan bukti mengarah pada Mayjen (Purn) Muchdi PR lantas hakim menjatuhkan hukuman bebas dengan alasan tidak bersalah.
            Selain itu dugaan tentang Pollycarpus sebagai agen Badan Intelejen Negara (BIN) juga dianggap angin lalu oleh hakim. Padahal ada bukti yang menyebutkan bahwa Polly kerap berada di berbagai daerah konflik. Misalnya, berada di Timtim saat jajak pendapat 1999 dan mengenal Eunrico Guterres. Polly juga ada di Lhoksumawe sebelum dan pada masa awal pemberlakuan keadaan darurat militer. Namun kepada para penyidik Polly membantah berada di Aceh dan Papua yang dalam hal itu dianggap sebagai daerah operasi intelejen.
            Sekarang pertanyaan besar yang menganggu otak kita adalah dari mana datangnya arsenik itu? Ya, mungkin dari Pollycarpus. Siapa tokoh utama yang mengirim arsenik untuk Munir?  Jika seorang Muhdi PR yang sudah terlihat jelas bersalah bisa dibebaskan. Pasti ada sosok besar yang punya pengaruh besar terhadap kasus ini dan ingin ditutupi keberadaannya.
            Berbagai spekulasi tentang kasus ini muncul. Salah satu yang paling keras terdengar suaranya di masyarakat adalah keterlibatan seorang jendral. Asalannya juga masuk akal karena Munir selalu vokal menyampaikan kritikan soal kasus pelangaran HAM masa lalu. Jendral tersebut tidak ingin kasus tersebut terungkap karena dulu dialah yang memimpin operasi militer yang mengakibatkan pelangaran HAM tersebut.
Penegakan hukum ikut mati
            Sekarang sudah delapan tahun sejak kepergian Munir. Kasus tersebut semakin banyak dimuat di media Internasional. Bahkan mereka langsung datang ke Indonesia untuk melakukan riset terhadap kasus ini. Sebagian lain menayangkan liputan khusus tentang kasus Munir. Hal yang mengejutkan adalah semua media yang meliput kasus Munir sepakat bahwa masalah tersebut merupakan kriminal besar. Sedangkan semua barang bukti yang memudahkan pengusutan kasus sebenarnya ada namun sengaja dihilangkan oleh oknum tertentu.
   Semakin banyak pula masyarakat yang mengerti dan prihatin terhadap nasib Munir.  Buktinya dapat kita lihat di berbagai jejaring sosial, rakyat berbondong-bondong  memajang foto Munir  sebagai bentuk advokasi nyata. Rakyat ingin menggugat hal yang selama ini dianggap tiada oleh pemerintah. Bahkan sebagian rakyat lain yang merasa kasus Munir dan kasus pelanggaran HAM yang lain menjadi hal yang sangat penting untuk dituntaskan tidak sekedar memajang foto. Mereka turun ke jalan untuk berorasi dan melakukan teatrikal. Adapula yang melakukan konser amal untuk Munir. Semuanya mereka lakukan untuk menarik simpati masyarakat untuk mendukung penuntasan kasus Munir.
 Akan tetapi itu semua tidak cukup untuk mengetuk pintu pemerintah khususnya para penegak hukum untuk mengusut kembali kasus ini. Pemerintah harus menujukan komitmennya sebagai pengayom rakyat. Pemerintah tidak boleh menutup mata ketika rakyat melakukan bentuk protes. Kasus Munir terjadi ketika bangsa ini sudah reformasi berarti pada saat tersebut seharusnya Indonesia sudah memiliki penegak hukum yang baik.
Pelanggaran HAM bagaimanapun bentuknya adalah pelanggaran hukum. Hukum merupakan esensi dari keadilan itu sendiri. Sehingga mana mungkin keadilan itu ada jika hukum tidak ditegakan? Demikian juga, mana mungkin hukum ditegakkan padahal begitu banyak permasalahan pelangaran HAM? Penegakan hukum dan HAM menjadi harga mati jika menginginkan keadilan.  

      Sekar Banjaran Aji
Awak Magang Mahkamah