PERSMA
DIELUKAN, DIBUNGKAM DAN DIABAIKAN
Pers
Mahasiswa (Persma) telah melewati banyak masa. Dari waktu ke waktu Persma
mencatat pahit manis sejarah kehidupan Indonesia. Sebagai penyuara kebenaran,
Persma mengalami jatuh bangun seiring perkembangan Indonesia menjadi negeri
yang besar. Persma dielukan, Persma dibungkam, hingga Persma diabaikan.
Persma muncul sejak terjadinya pergerakan yang digalang
Budi Utomo. Pergerakan pada masa penjajahan tersebut mampu menyulut semangat
pemuda, terutama mahasiswa sebagai pihak netral untuk ikut mengkritisi
kolonialisme. Hal ini dibuktikan dengan terbitnya Jong Java oleh mahasiswa dan
pelajar Indonesia. Perjuangan Persma membuat media penyampaian pikiran-pikiran
kemerdekaan belum selesai, saat akhirnya kolonialisme angkat kaki dari
Indonesia sehingga bangsa ini merdeka, sebaliknya, Persma terus mengembangkan
sayap pemikirannya untuk ikut menorehkan tinta pada sejarah bangsa ini.
Kolonialisme gugur dan digantikan Orde Lama. Persma terus
menunjukan idealismenya dalam mengkritisi pemerintahan Soekarno yang ternyata
tidak juga membawa Indonesia menjadi lebih baik. Sayangnya, Persma pada masa
Demokrasi Terpimpin dan Demokrasi Liberal saat itu dipengaruhi partai politik
sehingga kebijakan Persma kala itu tidak lepas dari pengaruh partai politik.
Orde Lama tumbang digantikan Orde Baru. Persma masih
tetap berada di pihak netral yang terus kritis menanggapi masalah yang ada di
negeri ini. Masa Orde Baru dapat dikatakan sebagai masa kejatuhan Persma dan
pers lainnya. Rezim Soeharto yang otoriter membawa dampak buruk bagi kehidupan
pers di tiap universitas. Persma yang kala itu tetap aktif mengkritisi
pemerintah yang sakit, dipandang sebagai ancaman bagi rezim Orde Baru. Sehingga
dengan semena-mena pemerintah mengeluarkan kebijakan NKK/BKK (Normalisasi
Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan).
Melalui
kebijakan ini mahasiswa hanya dituntut untuk beraktivitas hanya di dalam ruang
kuliah. Mahasiswa hanya berkewajiban untuk belajar, bukan ikut menelaah masalah
politik, karena masalah politik dianggap hanya urusan negara atau pemerintah.
Kebijakan ini berhasil menutup secara paksa Persma di berbagai universitas
seperti; Gelora Mahasiswa (UGM) dan Salemba (UI). Namun pergerakan Persma terus
dilakukan di bawah tanah hingga akhirnya lahirlah reformasi pada tahun 1998.
Reformasi menjanjikan banyak hal kepada tiap masyarakat
Indonesia untuk ikut berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan negara. Kebebasan
berpendapat tidak lagi dibatasi oleh kebijakan-kebijakan absurd pemerintah.
Persma turut merasakan sepoi angin perjuangan yang menjanjikan. Reformasi yang
berlangsung hingga saat ini sudah sepatutnya digunakan sebaik-baiknya oleh
semua Persma di Indonesia sebagai dasar perjuangan mengkritisi dan menyalurkan
pikiran-pikiran yang netral dan tidak berpihak. Persma tidak lagi harus
berjuang di bawah tanah, melakukan kegiatan secara diam-diam karena takut
ditangkap, hanya karena menyampaikan pikirannya yang objektif terhadap isu
apapun yang ada di Indonesia.
Ironis ketika kebebasan bersuara sudah digenggam, Persma
justru diabaikan. Diabaikan oleh pemerintah, dan lebih parah lagi, diabaikan
oleh mahasiswa. Kebebasan pers di era reformasi ditandai dengan disahkannya Undang-Undang
No. 40 tahun 1999 tentang Pers (UU Pers). Undang-undang yang menjamin kebebasan
berpendapat bagi setiap media ini merupakan tanda dimulainya demokrasi di
Indonesia. Meskipun demikian, dari dua puluh satu pasal yang terkandung dalam
UU Pers, peraturan khusus tentang Persma tidaklah menjadi salah satu hal yang
diatur dalam undang-undang ini.
Pembuat
undang-undang saat itu mungkin lupa bahwa di Indonesia terdapat satu badan yang
memegang peran penting dalam pergerakan bangsa sejak sebelum merdeka hingga
reformasi. Padahal tanpa media yang netral, tanpa tulisan-tulisan mahasiswa
yang menyerukan kepada masyarakat tentang inti perjuangan, kita tidak akan
sampai pada era reformasi seperti sekarang ini.
Sebut saja
pergerakan mahasiswa tahun 1974 atau lebih dikenal dengan tragedi Malari,
dimana mahasiswa menolak masuknya investasi asing ke Indonesia. Demonstrasi
yang menyebabkan beberapa mahasiswa gugur itu merupakan latar belakang
pemerintah di bawah rezim Soeharto membuat kebijakan NKK/BKK yang memaksa
seluruh mahasiswa, termasuk Persma, bungkam terhadap isu-isu negara pada saat
itu.
Namun
dengan keberanian dan tekad Persma, perjuangan bawah tanah untuk mengkritisi
dan menyalurkan informasi tetap dilakukan, tidak peduli seberapa sering majalah
kampus diberedel oleh pemerintah. Jika Persma tidak mempunyai keberanian untuk
tetap berjuang, mungkin pergerakan mahasiswa tahun 1998, yang berhasil
menumbangkan otoritas Orde Baru tidak akan pernah terjadi. Mungkin mahasiswa akan
tetap menjadi pelajar seperti keinginan pemerintah Orde Baru. Belajar di ruang
kelas dan berprestasi mengharumkan nama bangsa tanpa tahu apa yang terjadi
dengan bangsa itu sendiri.
Perjuangan
Persma terdahulu sudah seharusnya meninggalkan bekas pada perjuangan Persma
masa reformasi. Namun kenyataannya, setelah dibungkam pemerintah pada masa Orde
Baru, Persma sepertinya sulit bangkit kembali menjalankan perannya membakar
semangat perjuangan seperti dulu. Pers Mahasiswa di era reformasi bukan hanya
diabaikan pemerintah, tetapi juga diabaikan mahasiswa. Seperti masih terkekang
Orde Baru, mahasiswa terbiasa untuk tidak kritis terhadap isu sekitar.
Dari warisan Orde Baru jugalah sebagian Persma
di Indonesia terkesan masih takut mengkritik pemerintah maupun kebijakan kampus
itu sendiri. Tidak dapat dipungkiri bahwa Persma menggantungkan seluruh dana
kegiatannya pada kampus. Namun bukan berarti Persma, yang berfungsi sebagai
media kontrol sosial di dalam kampus, harus membatasi langkahnya dalam
menanggapi permasalahan kampus. Hal inilah yang terjadi di beberapa Persma di
Indonesia. Tujuan Persma yang seharusnya berfungsi sebagai media perjuangan,
digantikan dengan hiburan yang, sebenarnya, dapat ditemukan di media-media
lain. Karena itulah, beberapa Persma di Indonesia mulai kehilangan pendar
idelismenya.
Walaupun
demikian, harapan terhadap Persma tetap ada. Masih banyak Persma yang
mempertahankan idelismenya dengan tetap mengkritisi isu-isu di dalam dan luar
kampus. Masih banyak Persma yang tidak terlena oleh reformasi dan masih terus
berjuang menyuarakan kebenaran. Reformasi bukan seharusnya menjadikan Pers
Mahasiswa melemah lantaran pergerakan mahasiswa telah usai. Namun reformasi
dengan segala jaminan kebebasan berpendapat, seharusnya dipandang sebagai pintu
yang terbuka lebar bagi Persma di Indonesia untuk terus menyuarakan perjuangan.
Tidak ada
yang sempurna, begitu pula era reformasi yang didapat dengan perjuangan
berdarah ini. Maka tidak ada alasan bagi Persma untuk berhenti menyuarakan
perubahan menuju arah yang lebih baik demi bangsa Indonesia. Begitupun
seharusnya tidak ada alasan bagi Persma untuk kembali dibungkam dan diabaikan,
karena Persma akan selalu ada di tiap-tiap pergerakan mahasiswa untuk ikut
menorehkan tinta di liku sejarah bangsa ini, mau tidak mau.
Awak Magang MAHKAMAH