Menjadi environmentalis itu gampang.
Sebuah kalimat yang provokatif jika anda adalah seorang pencinta lingkungan
sejati bukan sekedar penikmat alam. Apakah kata “gampang” itu bisa diwujudkan?
Sahabat Lingkungan (ShaLink) WALHI Yogyakarta
yang bekerja sama dengan Badan Penerbitan Pers Mahasiswa (BPPM) MAHKAMAH
Fakultas Hukum UGM sukses menyelenggarakan kegiatan Basic Environmental
Training 2 (BET) untuk menjawab tantangan tersebut. BET 2 tidak lain adalah
kelanjutan dari acara BET 1 yang sebelumnya diselenggarakan pada tahun 2010 di
Universitas Atmajaya Yogyakarta. Untuk tahun ini, BET 2 diselenggarakan di FH
UGM dengan mengusung tema “Menjadi Environmentalis itu Gampang, Indonesia Pulih!”.
BET 2 sendiri merupakan rangkaian
pelatihan dan pengembangan pendidikan alternatif lingkungan hidup pada generasi
muda di Indonesia. Adanya BET 2, merupakan salah satu bentuk konsistensi
Shalink dalam menyebarluaskan gagasan pendidikan lingkungan hidup yang bertumpu
pada hak asasi manusia.
BET berlangsung dari tanggal 17 Januari
sampai dengan 23 Januari 2010. Secara umum BET bertujuan untuk memberikan
edukasi tentang kondisi lingkungan hidup di Indonesia. Lebih lanjut, BET ingin
memberikan pemahaman tentang problematika lingkungan hidup dan menumbuhkan
kesadaran serta kecintaan terhadap lingkungan hidup.
Target peserta BET 2 memang siapa saja
yang peduli dengan lingkungan, namun hanya dibatasi 30 orang saja. Pembatasan
peserta dimaksudkan agar proses transfer ilmu dapat berjalan secara optimal.
Selain berasal dari regional Yogyakarta, peserta BET juga berasal dari Aceh,
Jambi, Purwokerto, Indramayu, Jakarta dan Cilacap. Antusiasme peserta dalam
mengikuti acara ini membuat BET dirasa semakin istimewa.
Kegiatan BET dibagi menjadi 2 sesi. Sesi
pertama adalah sesi di dalam kelas (in class), berlangsung pada tanggal
17 Januari 2011 - 19 Januari 2011. Dilanjutkan dengan sesi luar kelas (out
class) yang berlangsung pada tanggal 20 Januari 2011 sampai dengan tanggal
23 Januari 2011. Penyampaian materi di kegiatan ini dilakukan oleh beberapa
fasiitator.
Pada hari pertama (17/1), peserta
diberikan materi mengenai gambaran sejarah gerakan lingkungan hidup di
Indonesia oleh Eksekutif Daerah
Yogyakarta Suparlan. Setelah itu, materi tentang Penegakan hukum lingkungan
hidup diberikan oleh dosen Fakultas Hukum UGM Totok Dwi Diantoro. Saat
menyampaikan materi, Dosen Hukum Lingkungan ini sempat mengungkapakan rasa
pesimisnya terhadap penegakan hukum lingkungan di Indonesia.
Pada hari kedua (18/1) pembahasan
ditekankan pada isu berbenturnya masalah mindset ekonomi dan lingkungan
dalam perkebunan sawit. Materi ini disajikan oleh Jefry Gideon Saragih, Kepala
Departemen Kampanye dan Pendidikan Publik SAWIT WATCH. Ia juga menyoroti dampak
perubahan iklim akibat konversi hutan menjadi perkebunan dalam jumlah besar di
Indonesia. Pertambahan lahan sawit di Indonesia setiap tahunnya mencapai 400
ribu hektar. Saat ini Indonesia memiliki 9,27 juta hektar lahan sawit, dimana 1,2
juta hektar di antaranya dimiliki oleh pemodal dari Malaysia. Di negaranya
sendiri, Malaysia memiliki lahan perkebunan sawit seluas 5,27 juta hektar.
Dengan perbandingan luas wilayah sawit Indonesia yang lebih besar dari
Malaysia, ternyata pendapatan yang diperoleh Indonesia dari sektor perkebunan
sawit sendiri tidak lebih besar dari pendapatan yang diperoleh Malaysia.
Pengenalan dampak sosial monokultur di
Indonesia oleh Abed Nego Tarigan (Direktur Eksekutif SAWIT WATCH) menekankan
bahwa corak perkebunan di Indonesia terutama perkebunan sawit dan ekspansi
dalam skala besar menimbulkan dampak sosial di masyarakat. Minimnya pengakuan
hak ulayat dan hukum adat menumbuhkan perbedaan pandangan antara pemerintah dengan masyarakat yang
menggantungkan hidupnya pada hutan.
Perkebunan sawit yang awalnya
direncanakan dapat menyerap emisi karbon justru lebih banyak melepaskan emisi. Jenis
pohon yang menjulang, tinggi besar dan kokoh dengan akar serabut mengharuskan sawit
menyerap air dalam jumlah banyak. Hal itu menimbulkan persoalan di dalam
masyarakat, yaitu ketika jumlah air di mata air semakin berkurang ataupun
mengeringnya sungai-sungai sumber kehidupan masyarakat karena sawit tersebut.
Hari ketiga (19/1), diagendakan sebuah
diskusi tentang jurnalisme lingkungan. Kesadaran akan pentingnya upaya peduli
lingkungan tidak bisa hanya dalam angan-angan. Sekedar kampanye lingkungan pun
tak mungkin bisa maksimal tanpa peran media untuk menyebarluaskan. Sayangnya
peran media dalam pemberitaan masalah lingkungan masih dirasa kurang. Jarang
ada permasalahan lingkungan yang diliput sebelum ada korban besar dan kerugian.
Kritik ini yang menjadi diskusi bersama Rurid, salah satu wartawan TEMPO dengan
seorang mantan Pemimpin Umum BPPM MAHKAMAH 2009/2010, Ahmad Romi Royadi.
Media sebagai salah satu pilar madani
diharapkan mampu mengawal sebuah masalah tanpa memandang jenis dan macam
masalah itu. Sadar atau tidak, peran media dalam mempengaruhi kebijakan
pemerintah sangat besar dan menentukan.
Dalam rangkaian kegiatan yang
berlangsung selama 3 hari tersebut, peserta dibantu oleh seorang fasilitator
untuk memetakan pemikiran dan mendorong para peserta untuk terjun langsung ke dalam
masyarakat dengan melakukan sesuatu yang nyata untuk melindungi
lingkungan.
Menjadi environmentalis bukan sekedar
datang dalam acara BET dan mendapat sertifikat. Peserta BET diharapkan dapat
memahami permasalahan lingkungan hidup secara utuh sekaligus mampu menjadikan
isu lingkungan hidup sebagai agenda utama perubahan sosial lingkungan hidup di
wilayahnya masing-masing. Tidak perlu menunggu berkelompok atau ajakan untuk
bisa menyelematkan lingkungan. Percaya atau tidak, kekuatan jiwa yang bergerak akan lebih ampuh
menghadapi masalah. Mulai dari hal yang kecil kita mulai. Dari kesadaran
dirilah seharusnya kita mulai bertindak menyelamatkan lingkungan kita.
Salam Lestari!!!!
Ratih Widowati
Divisi
Litbang BPPM Mahkamah FH UGM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar