Negara
Indonesia adalah negara hukum. Konsekuensinya adalah hukum memegang komando
tertinggi dalam penyelenggaraan negara. Pilihan untuk menganut paham ini
kemudian melahirkan sebuah kewajiban, yaitu Indonesia wajib menjunjung tinggi prinsip
negara hukum Muaranya adalah abstraksi negara hukum tadi hanya bisa terlaksana
ketika hukum ditegakkan seadil-adilnya. Salah satu ciri negara hukum, menurut
Jimly Ashidiqie, adalah supremasi hukum dan kedudukan setara setiap warga
negara di hadapan hukum. Tapi kenyataannya, hari ini, cita-cita negara hukum seakan
berubah menjadi sebuah utopia, bukannya menjadi eksis. Berbagai kasus menyangkut
bobroknya mental penegak hukum bertebaran setiap hari di media massa. Pangkal
persoalannya nyaris sama : pembedaan warga negara “golongan atas” dan “golongan
bawah”.
Golongan
atas tentunya adalah mereka yang memiliki fasilitas-fasilitas yang istimewa
pada saat proses peradilan. Istimewa, karena mereka bisa memperkerjakan
beberapa lawyer yang pada saatnya
bisa menelikung hukum. Penegak hukum kemudian diperdaya, baik jaksa ataupun
hakim. Bagi mereka hukuman berupa kurungan badan tidaklah menakutkan. Bui bisa
disulap menjadi surga. Kasus sel Artalita alias Ayin bisa menjadi salah satu
contoh bagaimana uang bisa mengubah hotel prodeo menjadi hotel bintang lima.
Berbanding terbalik dengan golongan atas, golongan kaum bawah memiliki nihil fasilitas
untuk mempertahankan martabatnya di depan hukum. Dampingan pembela saja ada
karena belas kasih undang-undang. Tapi jangan harap hukum berbelas kasih pada
mereka laiknya mesias. Berbagai ketidakadilan berada satu langkah dari mata
mereka.
Karut
marutnya penegakan hukum di negeri ini bisa dilihat dari kasus korupsi yang menjerat
Hari Sabarno, mantan Menteri Dalam Negeri. Serangkaian proses dan fasilitas
yang diberikan kepadanya istimewa. Pertama, saat ia di bawa ke rutan, Hari
Sabarno tidak diangkut menggunakan mobil tahanan seperti tahanan lain melainkan
mengunakan mobil dinas KPK yang lebih nyaman. Peristiwa ini sangat tidak
relevan dengan asas negara hukum yakni equality
before the law, yang mengatakan
bahwa pada dasarnya semua orang dianggap sama dan tidak ada pengecualian bagi
seseorang untuk mendapatkan hak khusus seperti contoh di atas.
Kedua,
ketika Hari Sabarno telah berstatus sebagai tahanan KPK, ia masih didampingi
oleh Badan Pembinaan Hukum Mabes TNI. Padahal jelas Hari Sabarno bukan lagi
perwira aktif karena sudah berstatus sebagai purnawirawan. Seharusnya, hak\
untuk mendapatkan bimbingan, pembinaan, maupun bantuan hukum dari Mabes TNI
tidak bisa ia dapatkan lagi. Tugas Babinkum itu sendiri adalah membantu Panglima TNI dalam
menyelenggarakan pembinaan hukum dan hak asasi manusia di lingkungan TNI,
pembinaan penyelenggaraan oditurat, dan pemasyarakatan militer dalam lingkungan
peradilan militer.
Satu
contoh sederhana perlakuan istimewa yang didapatkan oleh Hari Sabarno menjadi
bukti bahwa penegakan hukum Indonesia masih tebang pilih dan berpihak. Masih ada unsur-unsur lain yang lebih
ditonjolkan daripada keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Nenek Minah
yang mengambil 3 buah kakau harus berhutang agar bisa datang ke pengadilan.
Hutangnya jauh lebih banyak daripada penghasilannya selama satu bulan! Negara tampaknya
lebih bersahabat dengan mereka yang telah merugikan keuangannya miliaran
rupiah.
Perlakuan
tersebut tentunya semakin menguatkan bahwa negara ini penuh dengan
ketidakadilan karena orang yang bersalah pun bisa dianggap tidak bersalah oleh
hukum walaupun benar-benar telah terbukti merugikan negara yang jumlahnya tidak
sedikit. Perlakuan istimewa yang didapatkan para golongan atas yang dilakukan
oleh para aparat hukum ini berdasarkan pada jabatan, uang, ras, dan lain
sebagainya. Hari Sabarno mendapatkan perlakuan yang istimewa karena ia adalah
mantan menteri dalam negeri yang mempunyai banyak kekuasaan untuk bisa bisa
memperpendek masa hukumannya.
Kasus
diatas membuat banyak orang mempertanyakan persamaan kedudukan di hadapan
hukum, padahal negara ini menganut asas equality
before the law, dimana dalam teorinya kedudukan subjek hukum dimata hukum
adalah sama dan setara. Semua orang berhak mendapatkan keadilan. Sayangnya
dalam praktek, asas tersebut tidak ditegakkan dengan sempurna. Masih banyaknya
rakyat yang mendapatkan kesenjangan perlakuan hukum.
Masih banyak “praktek
nakal” yang dilakukan para penegak hukum. Padahal seharusnya, tidak boleh ada
pembedaan sehingga bisa mewujdkan Indonesia yang benar-benar bersih dari
praktek mafia hukum tersebut. sapa yang harus disalahkan dalam hal ini? Apakah
kita telah mengkhianati prinsip negara hukum yang kita pilih sedari awal?
Silahkan anda jawab dengan tindakan nyata.(***)
Efi Handayani
Divisi Penelitian dan Pengembangan Mahkamah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar