Harapan
tentang bangsa yang damai, makmur, dan sejahtera sepertinya masih jauh dari
Indonesia. Cita-cita pemberantasan tuntas korupsi di negeri ini pun masih harus
menempuh perjalanan panjang. Aturan demi aturan dibuat, diubah, dan dicabut
untuk mengimbangi upaya pencegahan terhadap korupsi. Sekarang, di tengah krisis
kepercayaan masyrakat terhadap lembaga penegak hukum, pemerintah mencoba
membawa angin segar sebagai upaya pencegahan korupsi lebih serius.
Beberapa
waktu yang lalu, dengan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (RUU
Tipikor) yang mengacu pada Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi
(KPBBAK) yang diratifikasi dengan UU No. 7/2006, pemerintah membawa RUU Tipikor
ke anggota legislatif. Belum sempat dibahas, RUU Tipikor sudah dicabut kembali.
Ternyata bukan angin segar yang coba dihembuskan pemerintah dengan RUU. Namun
sebuah polemik besar tentang keseriusan penguasa negeri ini dalam memberantas
korupsi. Ada apa gerangan dengan RUU tersebut?
Konsideran
RUU menyatakan, bahwa tindak pidana korupsi yang sering dilakukan secara
terencana dan sistematis merupakan pelanggaran terhadap hak sosial dan ekonomi
masyarakat secara luas dan endemik, merusak sendi-sendi ekonomi nasional, telah
digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar
biasa. Sehingga penindakan terhadap pelaku tindak pidana korupsi harus diatur
secara khusus. Namun, ketika sampai pada batang tubuh RUU, penindakan secara
khusus yang dijanjikan seakan mengkhianati konsiderannya. Entah mengapa sifat
luar biasa (extraordinary crime) itu menjadi tak lebih kuat dibanding UU
Tipikor yang saat ini sudah ada. Beberapa hal yang menjadi perbedaan RUU ini
dengan Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Tindak Pemberantasan Korupsi seakan mengindikasikan adanya niat yang
secara ‘khusus’ sengaja dibuat dengan tujuan yang mengundang tanda tanya besar.
Lebih
lanjut, dalam RUU ini tidak lagi ditemui ketentuan Pasal 2 Undang-Undang No. 31
Tahun 1999 yang saat ini berlaku. Unsur merugikan keuangan negara dihapuskan
dan hukuman mati ditiadakan. Alasan pemerintah menghapus unsur merugikan
keuangan Negara karena dalam KPBBAK tidak menganut lagi unsur merugikan
keuangan negara. Namun, bukankah yang dimaksud KPBBK sebenarnya lebih
menekankan bahwa korupsi tidak lagi hanya persoalan kerugian keuangan negara,
tetapi lebih luas, yakni kerugian keuangan publik. Logikanya, ketika KPBBK
mengatur lebih luas, maka unsur yang sudah ada tidak boleh dikurangi, apalagi
dihilangkan. Mengingat pada kasus-kasus sebelumnya ayat inilah yang banyak
menyeret pejabat korup ke meja hijau, bukankah menghapuskan ketentuan ini
menjadikan peluang korupsi menjadi lebih luas? Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat pada tahun 2010 Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) menjerat setidaknya 42 tersangka korupsi dengan
pasal tentang ”kerugian keuangan negara” ini, pasal ’penjerat koruptor’ tertinggi
kedua setelah pasal-pasal suap yang menjerat 188 tersangka.
Sedangkan
penghapusan hukuman mati menurut pemerintah tidak lebih karena alasan peghambat
ekstradisi. Jika koruptor yang diancam hukuman mati kabur ke luar negeri dan
negera tempatnya ‘singgah’ tidak lagi menganut hukuman mati maka permohonan
ekstradisi Indonesia bisa ditolak oleh negara tersebut. Alasan ini seakan ’dibuat-buat’,
ketika melihat fakta bahwa pidana mati dijatuhkan kepada koruptor, hanya ketika
tindak pidana korupsi dilakukan pada saat negara sedang dalam keadaan tertentu.
“Keadaan tertentu” dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku
tindak pidana korupsi manakala tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu
negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada
waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi,
atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter. Jadi tidak setiap
tindak pidana korupsi akan berujung pada pidana mati.
Selain
itu, hukuman mati dianggap tidak sesuai dengan HAM. Apakah HAM ini hanya dimiliki
dan difungsikan untuk melindungi penjahat elite (koruptor)? Padahal
korban dari perbuatan kotor pejabat korup adalah masyarakat yang dirampas
hak-hak asasinya tanpa pembelaan. Mereka yang secara langsung maupun tidak
terkena dampak korupsi hilang kesejahteraannya. Yang miskin menjadi semakin
melarat, akses pendidikan dan kesehatan semakin sulit, hidup layak tidak, dan bahkan
mati pun susah!
Salah
satu yang menjadi ciri dari UU Tipikor sebagai extraordinary crime
adalah adanya ancaman pidana minimal khusus dan pidana maksimal khusus. Namun,
pada RUU ini ternyata terdapat beberapa pasal yang tidak menyebutkan ancaman
pidana minimalnya. Ancaman pidana 1 tahun juga mewarnai berbagai ayat. Bisa
dibayangkan, dengan hukuman hanya1 tahun masih dikurangi masa penahanan ketika
penyidikan, penuntutan, atau remisi menjadi berapa sisa masa pidananya?
Lebih
lucunya lagi, dalam Pasal 51 RUU Tipikor disebutkan bahwa penghentian
penuntutan dapat dilakukan terhadap perbuatan korupsi dengan nilai paling
banyak 25 juta rupiah asalkan terdakwa mengakui kesalahannya dan mengembalikan
hasil kejahatannya. Benarkah jika dengan hanya diakuinya sebuah kejahatan
lantas menjadikan pengakuan tersebut sebagai alasan pemaaf untuk menghentikan
penuntutan atas dirinya?
Kewenangan
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
Pasal
32 RUU tipikor “penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di persidangan
dilakukan berdasarkan hukum acara, kecuali ditentukan lain di UU ini”. Padahal,
klausul “hukum acara” rentan sekali ditafsirkan sebagai UU No. 8/1981 atau
dikenal dengan KUHAP yang tidak dikenal lembaga KPK. Sedangkan kejaksaan
sebagai lembaga penuntutan yang dikenal dalam KUHAP saat ini dianggap belum
mampu mengawal kasus korupsi. Untuk kejahatan luar biasa seperti korupsi
dibutuhkan penyelesaian dengan cara yang tak biasa juga dan hingga saat ini
satu-satunya lembaga yang mampu memang hanya KPK. Dan mengapa kewenangan KPK
harus dikurangi sedemikian rupa?
Benarkah dari
beberapa perbedaan RUU Tipikor dengan UU No. 31/1999 jo UU No. 20/2001 yang
menimbulkan polemik hanya merupakan skenario mempermudah kejahatan korupsi?
Semoga tidak! Terlepas dari kelemahan-kelemahan RUU Tipikor, pemerintah
akhirnya mencabut pengajuan RUU Tipikor untuk diperbaiki. Harapannya, RUU
Tipikor yang mungkin akan diajukan lagi berisi semangat nyata memerangi korupsi
bukan hanya sekedar akal-akalan memberantas korupsi saja.(***)
Ratih Widowati
Kasubdiv Riset dan Diskusi, Litbang Mahkamah
Kasubdiv Riset dan Diskusi, Litbang Mahkamah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar