Blog ini adalah archive. Untuk situs kami yang aktif, silahkan kunjungi mahkamahnews.org | Follow kami di Instagram & Twitter : @mahkamahnews

Baca juga archive produk-produk kami di  

Selasa, 06 Desember 2011

Pers Indonesia, Suara Rakyat atau Penguasa?


“Vox Populi Vox Dei, Suara Rakyat adalah suara Tuhan”


Pernahkah kita membayangkan jika tidak ada kebebasan pers di negara ini? Bisakah kita membayangkan ide dan pikiran kita terkurung oleh kekuasaan tanpa bisa kita keluarkan?

Keadaan seperti itu pernah dialami oleh rakyat bangsa ini dalam kurun waktu yang sangat lama. Rakyat bangsa ini dipaksa menerima berbagai kebijakan yang sengaja dibuat untuk mengkebiri ide dan pemikiran mereka. Kekuasaan pemerintah kolonial Belanda membuat kebebasan berpikir rakyat kita dipagari oleh absolutisme penguasa. Tekanan pemerintah kolonial saat itu melahirkan ide pemberontakan untuk segera melakukan perubahan, salah satunya melalui pers. Raden Mas Tirto Adi Suryo memberanikan dirinya dibaptis sebagai wartawan inlander pertama di bumi pertiwi. Lewat semua tulisannya yang tertuang dalam koran Medan Prijaji , Raden Mas Tirto Adi Suryo mencoba untuk mendobrak kebijakan Pemerintah Kolonial saat itu. Mengusung ide dan aspirasi rakyat kecil, Raden Mas Tirto Adi Suryo memberikan sedikit cambukan kepada kekuasaan yang memerintah saat itu. Berbagai upaya pemerintah Kolonial untuk menghentikan seruannya pun bukan menjadi penghalang baginya untuk tetap bersuara keras. Pembredelan menjadi teman setia sehari-hari. Namun, kecintaan Raden Mas Tirto Adi Suryo terhadap tanah airnya tampaknya lebih besar daripada upaya Pemerintah kolonial saat itu. Bagaikan api yang disiram bensin, suara Raden Mas Tirto Adi Suryo semakin keras memperjuangkan nasib rakyat kecil yang tertindas.

Hari yang dinantikan pun tiba. Negara ini memproklamasikan kemerdekaannya sebagai negara yang berdaulat. Kehidupan Pers sedikit mendapat nafas baru. Iklim pers nasional pun berubah menjadi sejuk. Namun, nafas baru itupun tak mampu mempertahankan kesejukan iklim nasional yang mulai merangkak. Pemerintahan Orde Baru yang menjanjikan kebebasan dan keterbukaan hanya menjadi sebuah retorika belaka. Pengekangan dan pembatasan terhadap pers seolah terulang kembali. Sejumlah surat kabar dan majalah dibredel antara tahun 1972-1978. Majalah sendi terjerat delik pers karena dianggap telah menghina kepala negara dan keluarganya. Sinar Harapan menyusul karena dianggap membocorkan Rencana Anggaran Belanja Negara yang belum dibahas oleh dewan di sidang parlemen. Pembredelan pada masa itu pun terus berlanjut. Pada tahun 1978, sejumlah media massa seperti Kompas, Sinar Harapan dan Merdeka juga dibredel. Aksi kalangan mahasiswa yang menolak pencalonan Soeharto menjadi presiden menjadi pemicu utamanya.

Masa Orde baru benar-benar menjadi masa kelam pers pasca penjajahan kolonial Belanda. Kebebasan berpendapat yang merupakan hak asasi setiap manusia seolah menjadi hak penguasa. Akibatnya, banyak tindakan penguasa yang menyimpang dari Konstitusi Negara. Semua kebijakan yang diambil oleh penguasa pada saat itu hanya menguntungkan rezim Soeharto. Rakyat dipaksa menerima segala kebijakan itu tanpa bisa mengeluarkan aspirasi mereka. Kebijakan Pemerintah saat itu ibarat perintah Tuhan yang harus dilaksanakan tanpa bisa dibantah oleh manusia. Penguasa seolah menggunakan pers sebagai media untuk mempertahankan kekuasaannya. Segala kegiatan pers pada masa itu jauh dari arti demokratis. Pemerintah bertindak sebagai pengawas kejam yang tidak segan-segan memberangus pers yang dianggap bertentangan dengan kepentingan mereka. Kritik terhadap penguasa pun melemah. Konten berbagai media massa seolah telah diskenario dan dipesan oleh penguasa. Segala pendapat yang berbeda dengan pendapat penguasa dianggap sebagai upaya pemberontakan. Akibatnya, hanya sedikit media massa yang berani bercerita tentang kebusukan kebijakan pemerintah saat itu.

Tekanan penguasa terhadap kebebasan berpendapat memicu semangat mahasiswa untuk melakukan perubahan. Kerusuhan Mei 1998 menjadi puncak kemarahan rakyat terhadap tindakan penguasa yang sewenang-wenang. Massa pengekangan Orde baru pun berakhir dengan banyak darah yang tertumpah. Sungguh ironis jika kita kembali mengingat peristiwa itu. Kebebasan berpendapat yang merupakan hak asasi setiap manusia harus diperoleh dengan pertumpahan darah. Ironisnya lagi hal itu dilakukan oleh penguasa negeri sendiri. Pasca peristiwa memilukan itu, pers kembali mendapatkan nafas baru untuk yang kedua kalinya. Kebebasan untuk mengeluarkan pendapat dan aspirasi benar-benar menjadi kenyataan. Media massa yang dulunya “dibunuh” pada masa Orde Baru kini dilahirkan kembali. Pers kembali berfungsi sebagai pilar sekaligus pengawas demokrasi.

Kebebasan yang kebablasan

Kebebasan ternyata tidak sepenuhnya menciptakan keadaan pers yang kondusif. Kebebasan tersebut justru banyak disalah artikan dan disalahgunakan oleh berbagai pihak. Kebebasan pers yang berkembang saat ini cenderung negatif, yaitu kebebasan yang benar-benar bebas tanpa aturan. Padahal, kebebasan pers yang diperjuangkan dulu adalah kebebasan pers yang bertanggungjawab dan memiliki akuntabilitas. Bukan malah melepaskan diri dari segala aturan. Kebebasan yang kebablasan itu terlihat dari konten yang disajikan oleh berbagai media massa maupun elektronik saat ini. Banyak media massa yang sengaja menampilkan gambar-gambar berbau porno untuk menarik minat pembaca. Belum lagi media elektronik yang hanya menyiarkan berita-berita yang hot saja. Arah perkembangan pers saat ini lebih cenderung menuju pers sebagai komoditi. Hal ini terlihat dari pemilhan konten media pers itu sendiri. Konten yang dianggap akan menaikan rating mereka cenderung lebih sering dimuat dan disiarkan. Hal yang demikian ini seolah menjadikan pers sebagai media perdagangan, bukan sebagai penyalur aspirasi rakyat. Fenomena miring yang muncul dari kebebasan yang terlalu jauh tidak hanya samapi di situ saja. Permasalahan itu terlihat dari banyaknya media massa yang hanya memiliki kapabilitas jurnalisme yang sangat minim. Sedikitnya pengetahuna terhadap asas jurnalisme ini membuat kode etik terlupakan. Padahal, kode etik merupakan pedoman bagi pekerja pers untuk mendapatkan informasi yang benar dan akurat. Namun, yang terjadi sekarang ini adalah sebaliknya. Kode etik hanyalah sebagai formalitas belaka. Banyak pekerja pers yang bekerja dengan seenaknya sendiri. Akibatnya banyak pekerja pers yang bersitegang dengan informan ketika sedang mengais informasi. Tindakan tersebut jelaslah sangat jauh dari arti kebebasan pers yang diharapkan oleh masyarakat.

Pers dan Penguasa

Kondisi pers saat ini seolah mengulang pers zaman penjajahan dan orde baru. Bedanya, pers sekarang ini sudah mendapat kebebasan. Namun, kebebasan yang didapatitu tampakya belum mampu mengembalikan fungsi dan peranan pers seutuhnya. Kebebasan itu justru membawa dilema tersendiri. Banyak penyalahgunaan kebebasan disana sini. Penyalahgunaan kebebasan pers ternyata tidak hanya dilakukan oleh para pekerja pers semata. Kebebasan pers yang kebablasan ini pun dimanfaatkan oleh penguasa sebagai ldang untuk menanam pencitraan mereka. Para penguasa berlomba-lomba untuk mendapatkan simpati dari rakyat. Liberalisasi menjadikan kepemilikan perusahaan pers sedikit banyak dipegang oleh penguasa. Penguasaan terhadap pers oleh penguasa tak ubahnya seorang nahkoda yang sedang mengarahkan layar perahunya. Mereka menjadikan media massa maupun elektronik sebagai kendaraan politik mereka. Hal ini menyebabakan terjadinya saling serang antara media yang satu dengan media yang lain, tergantung dari kepentingan dan siapa pemilik media tersebut. Akibatnya, pers hanya terfokus memberitakan semua wacana penguasa yang tidak jelas realisasinya. Isu-isu dan keluhan rakyat kecil menjadi terabaikan. Rakyat seolah diposisikan sebagai seorang anak kecil yang harus menerima nasehat orang tuanya. Padahal nasehat yang diberikan itu belum tentu benar seluruhnya. Ironis memang, pers yang seyogyanya menjadi media pendidikan kini sedikit-demi sedikit beralih fungsi menjadi media penanaman ideologi yang tak jelas arahnya. Pers seolah menjadi alat “pembodohan” masal yang bekerja secara perlahan.

Kesadaran Pers saat ini

Fungsi pers yang disalahgunakan oleh berbagai pihak harus segera dihilangkan. Pers harus disadarkan dari hipnotis pihak-pihak yang mengusung kepentingan mereka. Penyediaan ruang publik yang demokratis harus diwujudkan. Kebebasan pers harus dkembalikan ke dalam track kebebasan yang demokratis dan bertanggung jawab. Bukan kebebasan yang hanya mengusung etika sebagai sandangan para pekerja pers saja. Kebebasan itu sendiri menjadi abstrak ketika ditafsirkan oleh berbagai pihak. Publik sebagai sasaran pers harus menentukan bagaiamana kebebasan yang seharusnya dilakukan oleh pers. Sudah saatnya pers kembali menjadi wadah pemikiran rakyat atasa segala macam bentuk penindasan penguasa. Sudah saatnya pers kemabali menyanyikan keluhan rakyat atas kebijakan penguasa. Sudah saatnya suara rakyat terdengar ke seluruh penjuru negeri ini.

ERDHA WIDAYANTO

2011

1 komentar:

  1. Pers harus murni dan bebas interfensi juga tekanan dari pihak manapun. Dukung terus kebebasan PERS yang bermartabat.
    from your friend mobil one.

    BalasHapus