”Pemilihan umum telah memanggil kita
seluruh rakyat menyambut gembira
hak demokrasi pancasila
hikmah Indonesia merdeka
Pilihlah wakilmu yang dapat dipercaya
pengemban Ampera yang setia
di bawah Undang-undang Dasar 45
kita menuju ke pemilihan umum”
Sepenggal lagu di atas merupakan mars pemilu pada zaman Orde Baru. Mars yang katanya mengajak rakyat untuk senantiasa menjunjung tinggi demokrasi dan Pancasila. Mars yang selalu dikumandangkan menjelang hari penentuan pemegang kekuasaan negeri.
Pada tanggal 20-23 Desember 2011, Fakultas Hukum (FH) UGM mengajak mahasiswa untuk menjunjung demokrasi dalam bingkai Pemilihan Raya (Pemira). Kegiatan ini mirip dengan Pemilihan Umum tetapi berskala internal FH UGM saja. Pemira di fakultas ini merupakan suatu tahapan yang sangat penting untuk menjaga kontuinitas budaya demokrasi yang sehat di FH UGM. Hal itu tertulis dalam konsideran Peraturan Dewan Mahasiswa Justicia Nomor 2 Tahun 2011 huruf (a) tentang Pemira. Perwujudan kontuinitas budaya demokrasi ini dilakukan dengan mengadakan pemilihan ketua baru Dema Justicia (Dema). Selanjutnya, dalam konsideran huruf (b) disebutkan bahwa Pemira dilaksanakan secara langsung oleh mahasiswa. Bunyi kalimat ini secara implisit menyimpulkan bahwa sasaran dari Pemira adalah semua mahasiswa aktif fakultas ini. Mereka mempunyai hak yang sama untuk memilih dan dipilih.
Menilik penyelenggaran Pemira pada tahun-tahun sebelumnya, terdapat satu ihwal berkaitan dengan antusias pemilih yang terus berulang. Ihwal tersebut selalu tumbuh dan melekat bak sebuah benalu. Pemira tahun 2011 hanya bisa mengumpulkan sebanyak 579 suara. Hal itu tidak jauh dengan Pemira tahun sebelumnya yang hanya mencapai kisaran angka 500-an saja. Memang ada peningkatan suara dalam Pemira tahun ini, tapi angka itu masih jauh dari total suara yang ada. Jika kita melakukan penghitungan sederhana, jumlah suara yang bisa dikumpulkan seharusnya bisa lebih dari itu. Taruh saja setiap angkatan terdapat 300 mahasiswa, berarti total suara yang sah dalam Pemira berbanding lurus dengan angka tadi. Maka ketika seluruh angkatan 2008-2011 dihitung, suara yang terkumpul bisa mencapai 1200-an. Belum lagi jika kita menghitung suara saudara kita di D3/Sekolah Vokasi dan suara teman-teman angkatan lain yang masih aktif mengikuti kuliah. “Antusiasme mahasiswa dalam Pemira berkurang dari tahun ke tahun, menurutku hal tersebut berkaitan dengan kesiapan dari teman-teman panitia Pemira itu sendiri”, ungkap seorang mahasiswa yang tak ingin disebut namanya. Di balik banyaknya mahasiswa yang kurang antusias, ternyata masih ada beberapa mahasiswa yang simpatik terhadap Pemira. Simpati tersebut diwujudkan dengan menghadiri debat publik dan mengikuti pencoblosan. “Saya mempunyai hak pilih dan saya ingin menggunakan hak pilih itu, makanya saya ikut Pemira. Lagi pula ikut Pemira juga nggak ada ruginya kok”, ungkap seorang mahasiswa sekolah Vokasi FH UGM.
Penurunan jumlah suara dalam Pemira kali ini mengindikasikan semakin banyaknya golongan abstain dan apatis terhadap proses demokrasi kampus ini. Kedua golongan ini memiliki kesamaan dalam hal tidak menggunakan hak pilih mereka. Namun keduanya dibedakan dengan jurang yang cukup dalam. Golongan abstain pada umumnya tidak menggunakan hak pilihnya karena mereka menganggap tidak ada calon dengan visi dan misi yang kompeten. Kepedulian terhadap kampus masih terlihat. Mereka menunjukkan kepedulian terhadap kampus dengan cara mereka sendiri.
Lebih miris jika kita melihat mereka yang sengaja tidak peduli dan tidak mau tahu tentang Pemira ini. Ketidakpedulian mereka terhadap pesta demokrasi kampus ini pun seolah tanpa dasar yang jelas. Sekedar menengok debat publik untuk mendengar visi dan misi para calon pun tidak. Apalagi untuk bertanya dan mengkritik visi dan misi para calon, jauh sekali dari sifat kritis seorang mahasiswa FH UGM. Mereka yang sengaja tidak peduli itu seolah hanya hidup di kampus untuk kuliah. Menabung IPK setinggi mungkin lalu pulang ke rumah dengan gaya bahwa mereka telah memberikan sumbangsih untuk kampus. “Saya tidak pernah ikut mencoblos dalam setiap Pemira. Saya merasa tidak mendapatkan manfaat darinya”, ungkap mahasiswa lainnya. Pilihan untuk apatis terhadap Pemira memang tidak sepenuhnya salah, tetapi juga tidak benar, hanya saja kurang tepat jika menjadi hobi seorang mahasiswa yang katanya tulang punggung harapan bangsa.
Penurunan kuantitas juga berlaku bagi calon Ketua Dema. Pemira tahun ini hanya diikuti oleh dua orang calon saja. Padahal tahun lalu saja sedikitnya ada empat pendaftar yang berusaha mengambil alih mahkota jabatan Ketua Dema dari kepengurusan sebelumnya. Penurunan jumlah Calon Ketua Dema ini pun menjadi sebuah pertanyaan besar.”Dalam pemira tahun 2006 juga pernah diikuti 2 calon yang sebenarnya cuma hanya 1 dan calon yang satunya hanya dipersiapakan untuk memenuhi syarat (bukan calon tunggal), bisa jadi dulu itu konspirasi karena keduanya langsung dari LSO yang sama. Berkurangnya calon menunjukkan sedikitnya minat mahasiswa menjadi pemimpin LO tersebut”, imbuhnya. Sangat sulit untuk memberikan putusan bahwa pilihan abstain atau tidak mencalonkan diri dalam Pemira itu salah atau benar. Itu merupakan hak dari setiap individu. Keduanya memiliki porsi kebenaran dan kesalahannya sendiri. Porsi kebenaran dan kesalahnnya pun tidak dapat ditentukan dengan pasti. Penilaiannya pun tergantung dari dominasi subjektifitas masing-masing individu.
Pada intinya, menggunakan hak pilih atau tidak itu harus dikembalikan kepada masing-masing pemegang hak pilih. Penggunaan hak pilih pun harus dengan bijak, jangan sampai hanya terbawa arus yang tidak jelas. Pun halnya bagi mereka yang memilih untuk abstain dalam Pemira kali ini. Memang sangat sulit untuk menyeragamkan pemikiran, namun harus kita tanamkan dalam benak kita bahwa semangat perubahan FH UGM yang lebih baik adalah pemersatu kita semua. Membangunkan daya kritik kita dari mimpi pun harus segera kita realisasikan. Jangan sampai ide dan pemikiran kita hanya menjadi pemikiran yang terhapus oleh putaran waktu. Terlepas dari hal di atas, Dema sebagai penganyom seluruh mahasiswa FH UGM harus segera berbenah. Perubahan Dema ke arah yang lebih mampu merangkul semua elemen mahasiswa harus diwujudkan. Mahasiswa yang abstain maupun apatis pun harus diperhatikan karena mereka merupakan bagian dari kampus ini. “Siapapun yang terpilih dalam Pemira kali ini, semoga memang yang terbaik dari semua yang terbaik. Semoga hasil Pemira tahun ini mampu membawa UGM pada umumnya dan FH UGM pada khusunya ke arah yang lebih baik dari sekarang”, celetuk mahasiswa lain.(***)
Erda Widayanto
Divisi Redaksi 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar