Blog ini adalah archive. Untuk situs kami yang aktif, silahkan kunjungi mahkamahnews.org | Follow kami di Instagram & Twitter : @mahkamahnews

Baca juga archive produk-produk kami di  

Minggu, 29 Januari 2012

SEPUCUK KABAR DARI RUANG BANGGAR

“Untukmu yang duduk sambil diskusi,

Untukmu yang biasa bersafari,

Disana…di gedung DPR”

Surat Untuk Wakil Rakyat-Iwan Fals

Wakil rakyat di gedung DPR kembali berulah. Bukan karena sedang berdiskusi menyampaikan aspirasi rakyat. Bukan juga karena sedang berdebat membahas Rancangan Undang-Undang (RUU). Ulah DPR ini bukanlah yang pertama kali. Bukan anggota DPR namanya jika tidak bisa berulah dan melawak. Banyaknya kebijakan DPR yang mengandung kontroversi menjadikan rakyat semakin apatis terhadap lembaga pemegang kekuasaan legislatif ini.

Akar permasalahannya masih sama yaitu tentang alokasi penggunaan dana. Sebelumnya, DPR telah mengalokasikan dana dua milyar rupiah untuk perbaikan toilet dan tiga milyar rupiah untuk pembuatan parkiran motor. Lebih fantastis lagi DPR mengalokasikan dana sebesar 1,3 trilyun untuk membangun “istana” barunya. Wakil kita di senayan ini kembali berulah melalui banyolan Badan Anggaran (Banggar) yang merenovasi ruang sidangnya dengan nominal harga yang sangat fantastis.

Ruang sidang itu kini sudah selsesai direnovasi. Perbaikan gedung dan penyediaan berbagai fasilitas pun sudah terlaksana. Ada sebuah pertanyaan besar yang menguntit di balik renovasi ini.Lagi- lagi perihal penggunaan dana. Banggar DPR mengalokasikan dana sebesar dua puluh milyar rupiah untuk memperbaiki ruang sidangnya. Dana yang terlalu besar untuk sebuah renovasi gedung. Banyak kejanggalan dalam renovasi ini. Salah satu hal yang patut dipertanyakan adalah tentang pengadaan kursi.

Harga kursi Banggar DPR tidak masuk akal. Sebuah kursi bernilai 24 juta rupiah. Jika dibandingkan dengan kursi untuk fasilitas pendidikan di daerah, maka hal itu bak jurang yang sangat dalam. Banyak sekolah-sekolah di daerah yang masih menggunakan kursi kayu yang usang. Masih lumayan jika tersedia kursi, tidak jarang mereka harus beralas lantai hanya untuk belajar. Belum lagi jika atap sekolah mereka bocor. Mereka harus segera menegakan kaki menahan berat tubuh mereka. Jika kita bandingkan, harga sebuah kursi Banggar DPR setara dengan seratus kursi sederhana sekolah yang berharga Rp. 210.000,00 per unit. Artinya jika anggaran sebuah kursi Banggar DPR ditukar untuk membeli kursi sekolah, seratus anak bisa duduk nyaman dalam belajar. Kenyataannya, kursi Banggar DPR sudah terpasang berjajar rapi ditempatnya sedangkan anak-anak sekolah masih berjajar menunggu giliran mendapatakan kursi bantuan pemerintah. Sungguh ironis memang. Padahal kita semua berharap bahwa dipundak mereka nantinya masa depan bangsa ini akan dipikul.

Kebijakan Banggar DPR memilih menggunakan produk luar negeri ketimbang produk dalam negeri menciptakan dilema tersendiri. Kebijakan Banggar DPR mengimpor kursi buatan Jerman mengundang kontroversi. Banyak kalangan menilai kebijakan tersebut melukai hati buruh lokal pengrajin kursi. Padahal, jika Banggar DPR berpikir lebih bijaksana, mereka juga bisa menggunakan kursi buatan anak bangsa. Toh fungsinya masih sama untuk duduk. Kualitas kursi buatan lokal pun juga tidak kalah jauh.

Lihat saja kursi ukir buatan saudara-saudara kita di Jepara. Hasil karya mereka sudah mendunia. Sungguh ironis jika hasil karya anak bangsa yang mendunia tidak diakui oleh bangsa sendiri. Selain itu, penggunaan kursi buatan lokal juga akan membantu produsen lokal untuk memperkenalkan produknya. Belum lagi harga kursi lokal yang terjangkau, tentu akan menekan besarnya pengeluaran. Publik pun segera bertanya motivasi Banggar DPR menggunakan kursi impor.

Tidak sedikit yang menilai bahwa hal tersebut hanya berdasarkan atas gengsi dan prestise semata. Berita lain menyebutkan bahwa kenyamanan kursi impor menjadi dasar dipilihnya kursi tersebut. Sedikit berkaca dari kinerja DPR yang dengan kursi biasa saja mereka terkadang tertidur pulas apalagi dengan kursi mewah yang sangat nyaman. Bisa jadi mereka akan tertidur lebih pulas dan bermimpi bahwa tugas mereka telah selesai.

Kontroversi lain terungkap ketika pengadaan kursi ini tanpa sepengetahuan Ketua DPR. Tanpa mencoba berspekulasi, pengadaan kursi Banggar DPR ini terkesan sembunyi-sembunyi dan rahasia. Tidak ada yang tahu bagaimana rencana renovasi ruang sidang Banggar DPR ini bisa dijalankan. Ketidaktahuan Ketua DPR tentang pengeluaran dana pengadaan kursi menjadi dagelan tersendiri. Sederhananya, sebuah program kerja DPR wajib diketahui oleh Ketua DPR. Lebih lucu lagi jika semua program tersebut sudah terlanjur terlaksana.

Pemerintah sebagai induk penyelenggara negara agaknya gerah dengan berita ini. Melalui Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP), pemerintah melakukan peninjauan terhadap kondisi ruang sidang super mewah ini. Belum diketahui bagaimana hasil pemeriksaan tersebut. Masyarakat masih berdebar menunggu hasil pemeriksaan itu. Terlepas dari hasil pemeriksaan tersebut, dana fantastis yang dikucurkan Banggar DPR untuk renovasi ruang sidangnya menimbulkan kegelisahan tersendiri.

Hal tersebut terlihat dari kinerja DPR yang masih carut marut tak karuan. Pelanggaran kode etik masih sering terjadi. Belum lagi hasil pembahasan Undang-Undang yang jauh dari target. Lebih parah lagi, kinerja DPR sekarang ini lebih didominasi kepentingan partai. Suara dan aspirasi rakyat menjadi terpinggir dan semakin tak terdengar.

Tidak ada padanan kata selain ironis untuk menggambarkan kondisi DPR saat ini. Kebijakan kontroversi tumbuh subur seiring kerasnya jeritan rakyat yang semakin kabur. Banyaknya gedung sekolah yang roboh mungkin hanya dianggap masa bodoh bagi mereka. Aksi jahit mulut sampai bakar diri pun agaknya belum bisa memecah kerasnya nurani mereka. Tidak ada yang tahu kapan drama lawakan para legislator ini akan berakhir. Pemerintah pun seolah mati gaya melihat tarian wakil rakyat ini. Lalu apa yang bisa kita lakukan? Menangis meminta belas kasihan itu haram, bergandengan tangan memupuk rasa cinta tanah air itu kewajiban.

Erdha Widayanto

Div Redaksi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar