Mental Budak yang Terkonstruktif
C. Purnama Putra
“Bangsa Indonesia yang sejati dari dulu hingga sekarang
masih tetap menjadi budak belian yang penurut, bulan-bulanan dari
perampok-perampok asing. Kebangsaan Indonesia yang sejati tidak ada kecuali ada
niat membebaskan bangsa Indonesia yang belum pernah merdeka itu.
Bangsa Indonesia yang sejati belum mempunyai riwayat
sendiri selain perbudakan . Riwayat bangsa Indonesia baru dimulai jika mereka
terlepas dari tindasan kaum imperialis. “ (Tan Malaka)
Indonesia merupakan negara kepulauan
yang terbesar di dunia ,dengan kekayaan alam yang melipah ruah atau dalam
istilah jawa nya gemah ripah loh jinawi. Buktinya
Indonesia merupakan penghasil tembaga terbesar ketiga di dunia serta penghasil timah terbesar di dunia. Wilayah Ertsberg
dan Gresberg
di Papua merupakan daerah
pertambangan dengan cadangan emas terbesar di dunia. Sungguh ironis, bangsa
besar dengan kekayaan alam yang tumpah ruah malah masih berkutat
pada kemiskinan dan kebodohan.
Sepintas
terlihat bahwa kekayaan alam yang melimpah itu merupakan kutukan bagi Indonesia.
Bagaimana
tidak? hingga sekarang, kekayaan alam itu hanya dinikmati oleh segelintir orang
Indonesia yang jumlahnya
kurang dari 1% dan para fat cat yang
berdomisili di negara-negara barat. Kurang
meratanya
distribusi
kekayaan
alam ini akibat dari mentalitas budak penguasa. Mentalitas budak yang terbentuk
semenjak penjajahan kolonial yang berabad-abad hingga bangsa Indonesia
kehilangan identitas diri dan mudah dikebiri oleh budaya asing .
Bayangkan sebuah bangsa yang
besar, manusianya
dijajah dengan kurun waktu yang begitu lama. Dapat dipastikan bahwa
penjajahan itu menimbulkan dampak kemunduran yang kompleks. Manusia Indonesia di
zaman itu diperas keringat dan tulangnya hanya untuk mengisi saku para makhluk
kolonial itu .
Sebagian
dari mereka menjadi buruh tani di
tanahnya
sendiri. Orang-orang yang memberontak diberangus dengan politik devide at impera. Warisan yang kita
peroleh dari penjajahan yang tidak berprikemanusiaan itu salah satunya ialah
mentalitas budak. Suatu mentalitas yang dapat kita rasakan hingga sekarang dan
akan terus menerus menjadi wabah turun-temurun dari generasi ke generasi. Mentalitas yang membuat
kita selalu tidur tenang tak peduli suara bising mesin korporasi msultinasional yang
mengeruk seluruh kekayaan alam Indonesia.
Mentalitas budak yang diharapkan
terkikis seiring dengan diucapkannya proklamasi kemerdekaan oleh Soekarno Hatta,
ternyata hanya berlaku sementara . Seiring bertambahnya usia Republik Indonesia
, Indonesia menghadapi luka lama yang terbuka kembali. Adanya rezim Orde Baru tak ubahnya
pembaruan penindasan dan pembaruan perbudakan. Rezim ini dengan
mentalitas budaknya merangkul lagi penjajah yang sebelumnya menghancur leburkan
negara dunia ketiga , untuk menanamkan modal di Indonesia.Sehingga terjadilah
investasi besar-besaran yang memasuki Indonesia. Satu per satu kekayaan
alam yang ada di Indonesia dimiliki kembali oleh orang asing.
Ini
seperti keadaan tiga setengah
abad yang lalu. Roda
perekonomian Orde Baru digerakkan oleh arsitek mafia berkeley yang konon mendapat mukjizat dari negeri Paman Sam. Mereka
yang merasa mendapat mukjizat , sangat percaya diri akan kemajuan ekonomi di
negeri ini. Namun takdir
berkehendak lain , mukjizatnya ternyata tidak mampu menembus krisis Asia pada tahun 1997. Akhirnya rezim Orde Baru ini dengan
mentalitas budaknya hanya memberikan warisan utang, budaya korupsi ,pelanggaran
HAM dan kekayaan alam yang dikuasai oleh asing.
Ketika reformasi
bergulir, banyak pihak optimis bahwa era ini akan melahirkan pemimpin-pemimpin
yang mempunyai rasa keadilan,berintegritas
, nasionalis ,dan humanis. Namun faktanya, era reformasi
terlalu dini untuk dielu-elukan keberhasilannya. Era ini ternyata juga melahirkan
para pemimpin inlander yang menjual
tanah bangsanya sendiri untuk sesajen para fat
cat. Para pemimpin bermental inlander
ini merupakan pelayan-pelayan trinitas globalisasi yaitu WORLD BANK ,IMF, dan
TNC/MNC. Mereka terlalu percaya kepada skema privatisasi yang akan membawa
kesejahteraan dengan tangan-tangan tak terlihatnya.
Padahal
sejarah membuktikan tangan tak terlihat itu yang konon menurut Adam Smith akan membawa
kemakmuran hanyalah omong kosong dan ternyata hanya membawakan kemakmuran kepada
segelintir orang yang mempunyai modal besar. Itu bukanlah sebuah
kemakmuran melainkan pencurian kemakmuran yang dilakoni oleh para pemodal besar
. Bentuk pemikiran yang seperti inilah yang dilegitimasi oleh para pemimpin bermental
inlander pada rezim Susilo Bambang Yudhoyono dimana mereka rela
mengesampingkan amanat UUD 1945 pasal 33 yang merupakan kepentingan bangsa ,
agar kepentingan bapak
besar yaitu Amerika Serikat terpenuhi . Tanah Papua diujung timur sana terlalu
lelah menjadi saksi atas adanya kepentingan ini .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar