DPR, Polri Versus
KPK
Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK)
yang saat ini diketuai oleh Abraham Samad dibentuk tahun 2003
dengan tujuan mengatasi, menanggulangi, dan memberantas korupsi di
Indonesia. Lembaga legislatif atau Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) diketuai
oleh Marzuki Alie dibentuk dengan tujuan menyalurkan aspirasi rakyat, penghubung
antara rakyat dengan pemerintah. Sementara,
Kepolisian
Republik Indonesia (Polri), dibentuk
dengan tujuan dapat melindungi, mengayomi, melayani dan menegakkan hukum di
masyarakat.
Ketiga lembaga tersebut merupakan lembaga vital yang
memiliki tujuan mulia bagi rakyat Indonesia. Namun, selama
ini terjadi justru DPR,Polri versus KPK. Hal ini dibuktikan pada kasus simulator
Surat Izin Mengemudi (SIM). KPK dan Polri malah berebut tersangka dan
barang bukti. Polri bahkan mempersulit
perizinan perpanjangan masa kerja penyidik KPK.
DPR sendiri pun seperti
menyalahkan KPK karena dianggap KPK tidak menghormati kerja dan keputusan
Polri. Kemudian permintaan pembangunan gedung KPK yang di halang-halangi oleh
DPR. Sangatlah disayangkan, mengingat DPR sendiri pun telah banyak merugikan
negara dengan pembangunan gedung DPR disana-sini namun tidak memiliki manfaat
yang jelas atau tidak berdaya guna tetapi untuk membangun gedung KPK untuk
memaksimalkan kinerja pemberantasan korupsi mereka malah menolak dengan alasan
tidak mau KPK semakin “perkasa”.
Sempat terjadi protes
dari pihak Polri dan DPR ketika terjadi perbedaan jenjang anggaran kerja untuk
Polri, DPR dan KPK yang menempatkan KPK sebagai pemegang hak tertinggi atas
anggaran namun dituduh tidak maksimal kinerja dan kebijakan untuk mengelola
anggaran tersebut. Seolah-olah selain
harus bekerja melawan korupsi, KPK sendiri harus melawan ego Polri dan DPR yang
herannya seperti tidak senang dengan kinerja KPK yang saat ini cepat dan tepat.
Pertikaian
ini sebenarnya juga bersumber dari Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 yang
mengatakan bahwa kasus korupsi dapat ditangani oleh Polri, Kejaksaan dan KPK. Meskipun memberi
kewenangan kuat kepada KPK untuk menyidik kasus korupsi tetapi juga masih
memberi ruang kepada kejaksaan dan Polri untuk menyidik dan mengusut kasus
korupsi. Maka tidaklah heran apabila terjadi perebutan wewenang semacam ini di
kalangan KPK dan Polri. Padahal di
hampir di setiap negara, lembaga antikorupsi merupakan lembaga satu-satunya
yang berwenang menangani kasus korupsi sementara Polri dan kejaksaan menangani
kasus di luar korupsi seperti penggelapan, perampokan, terorisme dan
sebagainya. Maka tidaklah heran terjadi perebutan wewenang seperti ini di
kalangan Polri dan KPK.
KPK,
sebagai lembaga antikorupsi di Indonesia, belum dapat diberi tanggung jawab
penuh untuk menyelesaikan kasus korupsi tanpa campur tangan pihak lain karena
pemilihan anggota dan pimpinan KPK yang masih ditangani oleh DPR. DPR berasal dari partai politik bukan dari
independen, jadi masih dapat ditunggangi kepentingan-kepentingan politik. Bukan
hanya sekali pemerintah dan DPR mengundang Independent Commission Against Corruption
(ICAC). Lembaga antikorupsi Hongkong ini telah berhasil
mengatasi masalah korupsi di negeri mereka.
DPR mengundang mereka untuk memberikan solusi-solusi
supaya lembaga antikorupsi di Indonesia menjadi lembaga yang kuat dan dapat
memberantas korupsi yang menjadi masalah utama saat ini.
Solusinya
antara lain menjadikan KPK sebagai konstitusi negara dengan komite independen
sebagai pengawasnya. Namun pemerintah dan DPR tidak melaksanakan jurus itu dan
justru mempersulit pelaksanaannya untuk menyelamatkan para koruptor. Selain itu, seperti ada ketakutan KPK akan
menjadi lembaga yang otoriter dan semena-mena ke depannya karena seolah-olah
KPK adalah yang paling banyak bekerja untuk negeri ini.
Oleh karena itu koruptor senang bertumbuh
kembang di Indonesia, nyaman untuk semakin memperkaya diri sendiri. Sebelum masa kebangkitan nasional, pemuda
Sumatera, pemuda Bali dan
organisasi masih
berjuang sendiri-sendiri, malah
ada organisasi yang justru
menghancurkan rekan sebangsa dan setanah airnya, yang menang siapa? Penjajah.
Belanda, Jepang dan lain-lain.
Demikian
juga sekarang ini, KPK lawan DPR, KPK lawan Polri, siapa yang menang? Koruptor!
Dilihat dari dari tujuan KPK, DPR dan Polri sebenarnya memungkinkan kerjasama
antara KPK, DPR dan Polri asalkan ada kejelasan fungsi masing-masing lembaga
dan komitmen yang benar dan jujur dalam mengatasi permasalahan-permasalahan di
negeri ini. DPR memilih anggota-anggota yang tepat, dengan seleksi yang ketat
untuk memilih anggota KPK, mendukung sarana dan prasarana yang diperlukan untuk
memberantas korupsi yang merupakan keluhan dari hampir seluruh lapisan rakyat.
Lalu Polri bekerja sama dengan KPK (bukan
sama-sama bekerja atau malah berebut
pekerjaan) untuk menyidik dan
menangani para koruptor untuk mewujudkan tujuan Polri juga yaitu melindungi,
mengayomi dan menegakkan hukum di masyarakat. Masing-masing lembaga harus menyadari
korupsi bukan sebagai ajang unjuk wibawa dan unjuk keeksisan masing-masing
lembaga, siapa yang paling hebat dalam mengatasi melainkan masalah serius yang
harus diberantas habis bersama-sama.
Fransisca F. R. C
Awak Magang Mahkamah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar