Pembubaran Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak
dan Gas Bumi (BPMIGAS) dua pekan yang lalu mengejutkan publik. BPMIGAS merupakan lembaga yang dibentuk Pemerintah Republik Indonesia sebagai pembina dan pengawas Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) dalam menjalankan kegiatan eksplorasi, eksploitasi
dan pemasaran minyak dan gas
di Indonesia.
Lembaga ini didirikan sebagai manifestasi Undang-Undang No 22 Tahun 2001 tentang
Minyak dan Gas Bumi (UU Migas). Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 42 Tahun 2002 tentang
BPMIGAS, masalah pengawasan dan pembinaan kegiatan Kontrak Kerja Sama
(KKS) yang sebelumnya dikerjakan
oleh Pertamina selanjutnya ditangani langsung oleh
BPMIGAS sebagai wakil pemerintah.
Badan yang dibentuk pada tanggal 16 Juli 2002 ini kemudian ditamatkan riwayatnya oleh Putusan Mahkamah Konstitusi No. 36/PUU-X/2012 yang dibacakan pada tanggal 13
November 2012. MK memutus Pasal 1 angka 23, Pasal 4 ayat (3),
Pasal 41 ayat (2), Pasal 44, Pasal 45, Pasal 48 ayat (1), Pasal 59 huruf a,
Pasal 61, dan Pasal 63 UU Migas bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Pembubaran BPMIGAS ini menuai pro kontra di tengah
khalayak umum. Publik bertanya-tanya alasan apa yang membuat BPMIGAS
ditumbangkan. Apa ada kepentingan terselubung di balik skenario ini? Atau
memang sudah waktunya lembaga yang dianggap terlalu liberal dan pro kepentingan
asing itu dibabat karena rawan koruptor?
Putusan MK yang membubarkan BPMIGAS dilandasi judicial
review UU Migas yang diajukan oleh sejumlah organisasi dan perorangan.
Mereka terdiri atas tokoh-tokoh nasional dan aktivis. Antara lain PP
Muhammadiyah, Komaruddin Hidayat, Marwan Batubara, Adhie Massardi, dan M Hatta
Taliwang. Para penggugat ini juga menghadirkan sejumlah saksi ahli, di
antaranya mantan Menko Perekonomian Dr Rizal Ramli, Kwik Kian Gie, pakar migas
Dr Kurtubi, pakar hukum tata negara Dr Margarito Kamis, dan lainnya.
Mereka
memohon MK untuk membatalkan ketentuan tentang KKS atau kontrak lainnya terkait
dengan Migas. Alasannya karena negara yang berkontrak. Menurut pemohon
seharusnya bukan negara yang berkontrak, tetapi Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
meskipun BUMN yang berkontrak ini tidak harus tunggal. Kedua menyatakan batal
ketentuan yang mengatur keberadaan pelaku yang melakukan kegiatan Migas di hulu
dan hilir, yaitu BPMIGAS, Badan Usaha dan Badan Usaha Tetap. Pemohon
menghendaki agar disektor Migas, BUMN yang mendapat kuasa dari negara
sebagaimana diatur dalam UU Migas lama yaitu Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 5 ayat
(1) UU No. 44/Prp/1960. Maksudnya adalah Pertamina sebagaimana diatur dalam UU No.
8 Tahun 1971.
Pemohon
menghendaki agar BUMN diberi prioritas dalam pengelolaan sektor Migas mengingat
para kontraktor saat ini lebih banyak berasal dari luar negeri. Permohonan
terakhir dari pemohon adalah menyatakan batal pasal yang mengatur kewajiban
pemerintah untuk memberitahu KKS yang telah ditandatangani kepada Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR). Para pemohon menginginkan agar KKS harus mendapat persetujuan
terlebih dahulu dari DPR, bukan sekedar memberitahu setelah ditandatangani. Atas
permohonan ini MK mengabulkan permohonan kedua yang kemudian membubarkan
BPMIGAS.
BPMIGAS seringkali dicap sebagai agen atau antek
asing. Dalam praktek, BPMIGAS lebih banyak
menguntungkan kontraktor asing. BPMIGAS menjadi kepanjangan tangan kontraktor
asing, khususnya dalam soal persetujuan pembayaran cost recovery yang jumlahnya amat besar. Hal inilah yang menjadi
alasan para penggugat melakukan judicial
review terhadap UU Migas, karena kehadiran BPMIGAS tidak memberi
manfaat bagi negara dan rakyat Indonesia.
BPMIGAS memiliki
wewenang antara lain membina kerja
sama dalam rangka terwujudnya integrasi dan sinkronisasi kegiatan operasional KKKS.
Merumuskan kebijakan atas
anggaran dan program kerja KKKS dan mengawasi kegiatan utama
operasional kontraktor KKS. Membina
seluruh aset KKKS yang menjadi milik negara. Melakukan koordinasi dengan pihak dan/atau instansi
terkait yang diperlukan dalam pelaksanaan Kegiatan Usaha Hulu.
Wewenang inilah yang menimbulkan permasalahan.
Pakar
Migas Indonesia, Dr.Kurtubi mengatakan bahwa kehadiran BPMIGAS telah
menggerogoti kedaulatan negara. BPMIGAS sebenarnya tidak punya aset karena
sebenarnya asset BPMIGAS adalah aset pemerintah. BPMIGAS mewakili pemerintah
dalam menandatangani kontrak migas dengan perusahaan asing dalam pola business to government. Dimana kedudukan
pemerintah dan kontraktor asing jadi setara. Hal ini bisa membahayakan negara
bila terjadi sengketa hukum di kemudian hari.
Ketua Center
for Petroleum and Energy Economics Studies (CPEES) itu berpendapat bahwa UU Migas mengarah untuk
melegalkan penguasaan kekayaan migas nasional oleh perusahaan asing dan swasta.
Hal ini tampak pada Pasal 12 ayat (3), yang menyatakan Kuasa Pertambangan (KP)
oleh menteri diserahkan kepada perusahaan asing dan swasta. Sementara itu,
implementasi kepemilikan atas Sumber Daya Alam (SDA) migas sengaja dikaburkan
dengan tidak adanya pihak yang membukukannya karena BPMIGAS tidak punya neraca.
Kehadiran BP Migas membuat tata kelola
migas Indonesia menjadi buruk . Hal ini ditandai dengan produksi anjlok, cost recovery melonjak, karyawan BPMIGAS
melonjak sepuluh kali lipat, merugikan negara.
Pasca putusan Mahkamah Konstitusi, presiden
sendiri telah mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 95 Tahun 2012 untuk
mencegah kevakuman terhadap usaha hulu migas. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah kevakuman
aturan sekaligus memberikan kepastian bagi usaha hulu minyak dan gas bumi.
Dalam
Perpres ini eks BPMIGAS yang masih dalam masa transisi, sesuai dengan putusan
MK, kedudukannya berada di bawah Menteri Energi dan Sumber Daya Manusia (ESDM). BPMIGAS yang sekarang berada di
bawah Kementrian ESDM, berubah nama menjadi Satuan Kerja Sementara Pelaksana
Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKSPMIGAS). Hal ini dipertegas
dengan Keputusan Menteri (KepMen) ESDM No. 3135 Tahun
2012 dan KepMen No. 3136 Tahun 2012 tentang Pengalihan Tugas, Fungsi, dan
Organisasi pelaksanaan kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi. Pengalihan BPMIGAS ke SKSPMIGAS menimbulkan
pertanyaan baru. Apakah pembubaran BPMIGAS menjadi SKSPMIGAS hanya sekadar ganti kostum
semata? Semoga saja tidak.
Maria Yohana Kristyadewi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar