HUKUM MATI KARENA ARSENIK
Kematian Munir tanggal 7 September
2005 hingga saat ini masih menyisakan
pertanyaan bagi
bangsa Indonesia. Munir, seorang
aktivis HAM yang sangat vokal menyampaikan kritik dan selalu berada di garda paling depan
penegakan HAM di Indonesia. Jabatannya sebagai ketua KontraS (Komisi Orang
Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) membuat Munir merasa memiki tanggung jawab
penuh dalam penegakan HAM di negeri tercinta ini. Tragisnya, Munir sang pejuang HAM
tersebut mati secara tidak wajar dalam penerbangan ke Belanda untuk melanjutkan
kuliah S2-nya. Kematian Munir tersebut menurut dokter disebabkan oleh arsenik.
Arsenik tidak datang begitu saja
Pollycarpus sebagai terdakwa
pembunuh Munir sudah dijatuhi hukuman 14 tahun penjara tapi kasus ini tidak
berakhir begitu saja. Masih ada banyak kejanggalan dalam kasus ini dan yang
utama siapa dalang dari kasus ini. Mana mungkin Pollycarpus yang mengaku
sebagai asisten
pilot membunuh Munir seorang pejuang HAM tanpa alasan yang pasti. Kemudian
ketika dugaan dan bukti mengarah pada Mayjen (Purn) Muchdi PR lantas hakim
menjatuhkan hukuman bebas dengan alasan tidak bersalah.
Selain itu dugaan tentang
Pollycarpus sebagai agen Badan Intelejen Negara (BIN) juga dianggap angin lalu
oleh hakim. Padahal ada bukti
yang menyebutkan bahwa Polly kerap berada di berbagai daerah konflik. Misalnya,
berada di Timtim saat jajak pendapat 1999 dan mengenal Eunrico Guterres. Polly
juga ada di Lhoksumawe sebelum dan pada masa awal pemberlakuan keadaan darurat
militer. Namun kepada para penyidik Polly membantah berada di Aceh dan Papua
yang dalam hal itu dianggap sebagai daerah operasi intelejen.
Sekarang pertanyaan besar yang
menganggu otak kita adalah dari mana datangnya arsenik itu? Ya, mungkin dari
Pollycarpus. Siapa tokoh utama yang mengirim arsenik untuk Munir? Jika seorang Muhdi PR yang sudah terlihat
jelas bersalah bisa dibebaskan. Pasti ada sosok besar yang punya pengaruh besar
terhadap kasus ini dan ingin ditutupi keberadaannya.
Berbagai spekulasi tentang kasus ini
muncul. Salah satu yang paling keras terdengar suaranya di masyarakat adalah
keterlibatan seorang jendral. Asalannya juga masuk akal karena Munir selalu
vokal menyampaikan kritikan soal kasus pelangaran HAM masa lalu. Jendral
tersebut tidak ingin kasus tersebut terungkap karena dulu dialah yang memimpin
operasi militer yang mengakibatkan pelangaran HAM tersebut.
Penegakan hukum ikut mati
Sekarang
sudah delapan tahun sejak kepergian Munir. Kasus tersebut semakin banyak dimuat
di media Internasional. Bahkan mereka langsung datang ke Indonesia untuk melakukan riset terhadap
kasus ini. Sebagian
lain menayangkan liputan khusus tentang kasus Munir. Hal yang mengejutkan
adalah semua media yang meliput kasus Munir sepakat bahwa masalah tersebut
merupakan kriminal besar. Sedangkan semua barang bukti yang memudahkan
pengusutan kasus sebenarnya ada namun sengaja dihilangkan oleh oknum tertentu.
Semakin banyak pula masyarakat yang mengerti
dan prihatin terhadap nasib Munir. Buktinya dapat kita lihat di berbagai jejaring
sosial, rakyat berbondong-bondong
memajang foto Munir sebagai
bentuk advokasi nyata. Rakyat ingin menggugat hal yang selama ini dianggap
tiada oleh pemerintah. Bahkan sebagian rakyat lain yang merasa kasus Munir dan
kasus pelanggaran HAM yang lain menjadi hal yang sangat penting untuk
dituntaskan tidak sekedar memajang foto. Mereka turun ke jalan untuk berorasi
dan melakukan teatrikal. Adapula yang melakukan konser amal untuk Munir.
Semuanya mereka lakukan untuk menarik simpati masyarakat untuk mendukung
penuntasan kasus Munir.
Akan tetapi itu semua tidak cukup untuk
mengetuk pintu pemerintah khususnya para penegak hukum untuk mengusut kembali
kasus ini. Pemerintah harus menujukan komitmennya sebagai pengayom rakyat. Pemerintah
tidak boleh menutup mata ketika rakyat melakukan bentuk protes. Kasus Munir
terjadi ketika bangsa ini sudah reformasi berarti pada saat tersebut seharusnya
Indonesia sudah memiliki penegak hukum yang baik.
Pelanggaran
HAM bagaimanapun bentuknya adalah pelanggaran
hukum. Hukum merupakan esensi dari keadilan itu sendiri. Sehingga mana mungkin
keadilan itu ada jika hukum tidak ditegakan? Demikian juga, mana mungkin hukum
ditegakkan padahal begitu banyak permasalahan pelangaran HAM? Penegakan hukum
dan HAM menjadi harga mati jika menginginkan keadilan.
Sekar Banjaran Aji
Awak Magang Mahkamah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar