PERS TANPA JUDUL
(oleh Ratih Widowati)
Perjalanan pers
mahasiswa tidak akan tergambar dalam satu judul dan tidak akan selesai dalam
satu cerita. Masih panjang dan akan selalu berbeda di setiap masanya. Namun
bukan berarti tidak punya sejarahnya sama sekali, hanya jangan terbuai dengan
keagungan sejarah itu. Sejatinya sejarah bukan untuk dielu-elukan tapi untuk
dipelajari.
Bicara mengenai
sejarah Pers Mahasiswa (Persma) tentu tidak lepas dari sejarah Pers itu
sendiri. Pergerakan pers di Indonesia pada awalnya merupakan sebuah ikhtiar membebaskan
diri dari belenggu penjajahan melalui dunia jurnalistik. Awak pers pada masa
itu merupakan para pelajar yang tergabung dalam organisasi kepemudaan.
Organisasi kepemudaan di Indonesia pertama kali berdiri pada tahun 1908 dengan
nama Perhimpunan Indonesia (PI). PI ini kemudian bergerak menuntut dan
mengkritisi kebijakan rezim kolonial melalui tulisannya yang dimuat dalam
majalah Hindia Poetra yang pada akhirnya berubah nama menjadi Indonesia
Merdeka. Majalah ini sukses membuat pemerintah kolonial kalang kabut dan
membakar semangat bagi cendikiawan lain untuk turut berjuang membebaskan
bangsa.
Kemudian antara tahun
1914 sampai 1938 dunia pers semakin ramai dengan munculnya berbagai persma
seperti “Jong Java”, Jong Celebes”, “Oesaha Moeda”, “Soeara Indonesia
Moeda”, serta keikutsertaan Soekarno dan Hatta menerbitkan Indonesia
Merdeka dan Fikiran Rakyat. Semua terbitan mereka selalu menuntut hilangnya
praktek kolonialisme dari bumi pertiwi. Namun dalam perjalananya sebelum
proklamasi dunia persma mengalami pasang surut manakala awak-awaknya harus ikut
berjuang secara fisik.
Dunia persma pasca
kemerdekaan sudah tidak sama dengan sebelum kemerdekaan. Jika sebelum merdeka
persma berjuang demi kebebesan bangsa, setelah merdeka persma justru lebih
banyak berjuang untuk kebebasannya sendiri. Tahun 1955, persma kembali bangkit
setelah sempat mati suri. Hal ini ditandai dengan lahirnya Ikatan Wartawan
Mahasiswa Indonesia (IWMI) dan Serikat Pers Mahasiswa (IPMI).
Layaknya fungsi pers
secara umum yaitu sebagai kontrol sosial, persma pun turut mengambil peran
kontrol sosial dengan mengkritisi kebijakan pemerintah yang berkuasa. Sayangnya
persma tidak sebesar dan sekuat pers umum. Dunia pers diuji pada dekade
1970-an, dimana Orde Baru yang berkuasa. Pemerintah di bawah rezim Soeharto
membatasi ruang gerak pers dengan dalih menjaga stabilitas politik. Persma
sebagai bagian dari fungsi kontrol sosial terus mengritisi degradasi moral
penguasa hingga belenggu pemerintah itu akhirnya turun ke kampus melalui
peraturan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan
(NKK/BKK). Isunya untuk mengalihkan perhatian mahasiswa agar lebih konsentrasi
pada nilai akademis dan sekaligus dijejali dengan politik praktis. Goalnya
persma hilang dari dunia kampus. Sadar hak bebas berpendapat dan berkumpul
masih layak untuk diperjuangkan, seluruh persma mengadakan pertemuan menggalang
kekuatan mengubah rezim berkuasa.
Hingga pada tahun 1998
rezim Soeharto berakhir berganti era reformasi dengan segala euforianya. Saat
ini, era dimana demokrasi dan hak asasi dijunjung tinggi, tidak ada lagi alasan
bagi persma untuk takut bersuara. Persma kini, jangan hanya menjadi kontrol
sosial namun juga kontrol media. Ketika pers umum sudah tidak mampu lagi mempertahankan
idependensinya maka disitulah peran persma untuk tetap menjaga ideologisnya.
Lebih dari itu yang tidak boleh terlupa adalah fungsi persma untuk turut
mengawasi kebijakan kebijakan kampus.
Dunia persma adalah
sebuah dunia yang tidak pernah stabil bahkan tidak akan pernah. Karena persma
butuh tahu banyak dan selalu mempertanyakan serta mencari kemapanan demi
perubahan dan perbaikan. Hingga saat ini persma masih ada merupakan sebuah
perjuangan yang belum selesai. Tapi setiap zaman selalu punya tantangannya
sendiri. Bagi awak persma sekarang tantangannya
adalah dunia akademis, jurnalistik dan independensi berpikir. Karena terkadang
ilmu dan realita selalu bertolak belakang dan punya alasan untuk demikian.
Maka, jawabannya selalu ada pada nurani dan pilihan untuk berpihak pada
kebenaran.
Persma dan awaknya
merupakan bagian dari dunia mahasiswa. Sedangkan dunia mahasiswa tak boleh jauh
dari dunia masyarakat begitu juga insan pers. Masyarakat bukan sekedar objek
pemberitaan tapi adalah subjek yang harus tahu informasi yang benar dan
diperjuangkan haknya. Sedangkan masyarakat adalah labolatorium ilmu bagi
mahasiswa. Apa yang kita dapat di bangku kuliah tidak bisa mentah-mentah kita
berikan tanpa kita tahu masyarakat kita seperti apa. Menjadi awak persma atau
sekedar mahasiswa apapun itu harus tetap punya prinsip berpihak pada kebenaran.
Sekalipun idealisme kadang terkikis realita hidup namun selama masih layak
dipertahankan, kenapa tidak?
Selamat datang
mahasiswa baru 2012 di Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada. Jangan dulu
kalian bangga menjadi bagian FH UGM tanpa kalian bisa berkontribusi untuk
keadilan. Dan adil itu dimulai sejak dalam pikiran –Pramoedya Ananta Toer-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar